ANDA INGIN DAPAT UANG

IKLAN

IKLAN

TENTANG SAYA

Makassar / Pinrang / Indonesia Komisi Gratis | Bisnis Online Tanpa Modal

ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL KRONIK By Udin

GAGAL GINJAL KRONIK

A. PENGERTIAN
Gagal ginjal kronik biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap (Doenges, 1999; 626)
Kegagalan ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan pemulihan fungsi tidak dimulai. Pada kebanyakan individu transisi dari sehat ke status kronis atau penyakit yang menetap sangat lamban dan menunggu beberapa tahun. (Barbara C Long, 1996; 368)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448)
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812)
B. ETIOLOGI
Penyebab GGK termasuk glomerulonefritis, infeksi kronis, penyakit vaskuler (nefrosklerosis), proses obstruksi (kalkuli), penyakit kolagen (luris sutemik), agen nefrotik (amino glikosida), penyakit endokrin (diabetes). (Doenges, 1999; 626)
Penyebab GGK menurut Price, 1992; 817, dibagi menjadi delapan kelas, antara lain:
1. Infeksi misalnya pielonefritis kronik
2. Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
3. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
4. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
5. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal
6. Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
7. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbale
8. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
C. PATOFISIOLOGI
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi tiga stadium yaitu:
1. Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal)
Di tandai dengan kreatinin serum dan kadar Blood Ureum Nitrogen (BUN) normal dan penderita asimtomatik.
2. Stadium 2 (insufisiensi ginjal)
Lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (Glomerulo filtration Rate besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini Blood Ureum Nitrogen mulai meningkat diatas normal, kadar kreatinin serum mulai meningklat melabihi kadar normal, azotemia ringan, timbul nokturia dan poliuri.
3. Stadium 3 (Gagal ginjal stadium akhir / uremia)
4. Timbul apabila 90% massa nefron telah hancur, nilai glomerulo filtration rate 10% dari normal, kreatinin klirens 5-10 ml permenit atau kurang. Pada tahap ini kreatinin serum dan kadar blood ureum nitrgen meningkat sangat mencolok dan timbul oliguri. (Price, 1992: 813-814)
D. MANIFESTASI KLINIS
1. Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369):
2. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang, mudah tersinggung, depresi
3. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
4. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
5. Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a. Sistem kardiovaskuler
1) Hipertensi
2) Pitting edema
3) Edema periorbital
4) Pembesaran vena leher
5) Friction sub pericardial
b. Sistem Pulmoner
1) Krekel
2) Nafas dangkal
3) Kusmaull
4) Sputum kental dan liat
c. Sistem gastrointestinal
1) Anoreksia, mual dan muntah
2) Perdarahan saluran GI
3) Ulserasi dan pardarahan mulut
4) Nafas berbau amonia
d. Sistem musculoskeletal
1) Kram otot
2) Kehilangan kekuatan otot
3) Fraktur tulang
e. Sistem Integumen
1) Warna kulit abu-abu mengkilat
2) Pruritis
3) Kulit kering bersisik
4) Ekimosis
5) Kuku tipis dan rapuh
6) Rambut tipis dan kasar
f. Sistem Reproduksi
1) Amenore
2) Atrofi testis
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Suyono (2001), untuk menentukan diagnosa pada CKD dapat dilakukan cara sebagai berikut:
1. Pemeriksaan laboratorium
Menentukan derajat kegawatan CKD, menentukan gangguan sistem dan membantu menetapkan etiologi.
2. Pemeriksaan USG
Untuk mencari apakah ada batuan, atau massa tumor, juga untuk mengetahui beberapa pembesaran ginjal.
3. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia dan gangguan elektrolit
F. PENCEGAHAN
Obstruksi dan infeksi saluran kemih dan penyakit hipertensi sangat lumrah dan sering kali tidak menimbulkan gejala yang membawa kerusakan dan kegagalan ginjal. Penurunan kejadian yang sangat mencolok adalah berkat peningkatan perhatian terhadap peningkatan kesehatan. Pemeriksaan tahunan termasuk tekanan darah dan pemeriksaan urinalisis.
Pemeriksaan kesehatan umum dapat menurunkan jumlah individu yang menjadi insufisiensi sampai menjadi kegagalan ginjal. Perawatan ditujukan kepada pengobatan masalah medis dengan sempurna dan mengawasi status kesehatan orang pada waktu mengalami stress (infeksi, kehamilan). (Barbara C Long, 2001)
G. PENATALAKSANAAN
1. Dialisis (cuci darah)
2. Obat-obatan: antihipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat, suplemen kalsium, furosemid (membantu berkemih)
3. Diit rendah protein dan tinggi karbohidrat
4. Transfusi darah
5. Transplantasi ginjal
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien CKD adalah:
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat.
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan udem sekunder: volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O.
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah.
4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder, kompensasi melalui alkalosis respiratorik.
5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan menurun.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan.
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
Tujuan:
Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil :
mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
b. Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
Tujuan:
Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
a. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
b. Batasi masukan cairan
R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap terapi
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan
d. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama pemasukan dan haluaran
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah
Tujuan:
Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil: menunjukan BB stabil
Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi
c. Beikan makanan sedikit tapi sering
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek social
e. Berikan perawatan mulut sering
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan
4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi melalui alkalosis respiratorik
Tujuan:
Pola nafas kembali normal / stabil
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R: Menyatakan adanya pengumpulan secret
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis
Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil :
- Mempertahankan kulit utuh
- Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit
Intervensi:
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya kemerahan
R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi.
b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan
c. Inspeksi area tergantung terhadap udem
R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
d. Ubah posisi sesering mungkin
R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk menurunkan iskemia
e. Berikan perawatan kulit
R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit
f. Pertahankan linen kering
R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan pada area pruritis
R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera
h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar
R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan
Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi
Intervensi:
a. Pantau pasien untuk melakukan aktivitas
b. Kaji fektor yang menyebabkan keletihan
c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d. Pertahankan status nutrisi yang adekuat


DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC

Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC

Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan

Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai Penerbit FKUI
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

ASUHAN KEPERAWATAN HIPERTROPI PROSTAT By Udin

HIPERTROPI PROSTAT

A. Pengertian Hipertropi Prostat
Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang kemudian mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. (Jong, Wim de, 1998).
B. Etiologi
Banyak teori yang menjelaskan terjadinya pembesaran kelenjar prostat, namun sampai sekarang belum ada kesepakatan mengenai hal tersebut. Ada beberapa teori mengemukakan mengapa kelenjar periurethral dapat mengalami hiperplasia, yaitu :
1. Teori Sel Stem (Isaacs 1984)
Berdasarkan teori ini jaringan prostat pada orang dewasa berada pada keseimbangan antara pertumbuhan sel dan sel mati, keadaan ini disebut steady state. Pada jaringan prostat terdapat sel stem yang dapat berproliferasi lebih cepat, sehingga terjadi hiperplasia kelenjar periurethral.
2. Teori MC Neal (1978)
Menurut MC. Neal, pembesaran prostat jinak dimulai dari zona transisi yang letaknya sebelah proksimal dari spincter eksterna pada kedua sisi veromontatum di zona periurethral.
3. Teori Di Hidro Testosteron (DHT)
Testosteron adalah hormon pria yang dihasilkan oleh sel leyding. Testosteron sebagian besar dihasilkan oleh kedua testis, sehingga timbulnya pembesaran prostat memerlukan adanya testis yang normal. Jumlah testosteron yang dihasilkan oleh testis kira-kira 90 % dari seluruh produksi testosteron, sedang yang 10 % dihasilkan oleh kelenjar adrenal.
Sebagian besar testosteron dalam tubuh berada dalam keadaan terikat dengan protein dalam bentuk Serum Binding Hormon (SBH). Sekitar 2 % testosteron berada dalam keadaan bebas. Hormon yang bebas inilah yang memegang peranan dalam proses terjadinya pembesaran kelenjar prostat. Testosteron bebas dapat masuk ke dalam sel prostat dengan menembus membran sel ke dalam sitoplasma sel prostat sehingga membentuk DHT – reseptor komplek yang akan mempengaruhi Asam Ribo Nukleat (RNA) yang dapat menyebabkan terjadinya sintetis protein sehingga dapat terjadi proliferasi sel (MC Connel 1990). Perubahan keseimbangan testosteron dan 50 tahun ke atas.estrogen dapat terjadi dengan bertambahnya usia
Anatomi Dan Fisiologi terdapat kelenjar prostat yang berada dibelakang spincter penutup urethra. Prostat
Spincter externa mengelilingi urethra di bawah vesica urinaria pada wanita, tetapi pada laki-laki mengekskresikan cairannya ke dalam urethra pada saat ejakulasi, cairan prostat ini memberi makanan kepada sperma. Cairan ini memasuki urethra pars prostatika dari vas deferens.
Prostat dilewati oleh :
a. Ductus ejakulatorius, terdiri dari 2 buah berasal dari vesica seminalis bermuara ke urethra.
b. Urethra itu sendiri, yang panjangnya 17 – 23 cm.
Secara otomatis besarnya prostat adalah sebagai berikut :
a. Transversal : 1,5 inchi
b. Vertical : 1,25 inchi
c. Anterior Posterior : 0,75 inchi
Prostat terdiri dari 5 lobus yaitu :
a. Dua lobus lateralis
b. Satu lobus posterior
c. Satu lobus anterior
d. Satu lobus medial
Kelenjar prostat kira-kira sebesar buah kenari besar, letaknya di bawah kandung kemih. Normal beratnya prostat pada orang dewasa diperkirakan 20 gram.
C. Patofisiologi
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Adanya obstruksi jalan kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi melemah, dan rasa belum puas selesai miksi. Gejala iritasi disebabkan oleh hipersentivitas otot detrusor, berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh. Keadaan ini membuat sistem scoring untuk menentukan beratnya keluhan klinik penderita hipertropi prostat.
Apabila vesica menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urine sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urine di dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi.
Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi karena produksi urine terus terjadi maka pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menahan urine, sehingga tekanan vesika terus meningakat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi dari pada tekanan spincter dan obstruksi, akan terjadi Inkotinensia Paradoks Retensi kronik menyebabkan refluks vesicoureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila ada infeksi.
Pada waktu miksi penderita harus selalu mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau haemorhoid. Karena selalu terdapat sisa urine dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan cystitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pyelonefritis.
Ada 3 cara untuk mengukur besarnya hipertropi prostat, yaitu (a) rectal grading (b) clinical grading dan (c) intra urethra grading.
1. Rectal grading
Recthal grading atau rectal toucher dilakukan dalam keadaan buli-buli kosong. Sebab bila buli-buli penuh dapat terjadi kesalahan dalam penilaian. Dengan rectal toucher diperkirakan dengan beberapa cm prostat menonjol ke dalam lumen dan rectum. Menonjolnya prostat dapat ditentukan dalam grade. Pembagian grade sebagai berikut :
0 - 1 cm……….: Grade 0
1 – 2 cm……….: Grade 1
2 - 3 cm……….: Grade 2
3 – 4 cm……….: Grade 3
Lebih 4 cm…….: Grade 4
Biasanya pada grade 3 dan 4 batas dari prostat tidak dapat diraba karena benjolan masuk ke dalam cavum rectum. Dengan menentukan rectal grading maka didapatkan kesan besar dan beratnya prostat dan juga penting untuk menentukan macam tindakan operasi yang akan dilakukan. Bila kecil (grade 1), maka terapi yang baik adalah T.U.R (Trans Urethral Resection) Bila prostat besar sekali (grade 3-4) dapat dilakukan prostatektomy terbuka secara trans vesical.
2. Clinical grading
Pada pengukuran ini yang menjadi patokan adalah banyaknya sisa urine. Pengukuran ini dilakukan dengan cara, pagi hari pasien bangun tidur disuruh kemih sampai selesai, kemudian dimasukkan catheter ke dalam kandung kemih untuk mengukur sisa urine.
Sisa urine 0 cc……………….…… Normal
Sisa urine 0 – 50 cc…………….… Grade 1
Sisa urine 50 – 150 cc……………. Grade 2
Sisa urine >150 cc………………… Grade 3
Sama sekali tidak bisa kemih…… Grade 4
3. Intra urethra grading
Untuk melihat seberapa jauh penonjolan lobus lateral ke dalam lumen urethra. Pengukuran ini harus dapat dilihat dengan penendoskopy dan sudah menjadi bidang dari urology yang spesifik.
Efek yang dapat terjadi akibat hypertropi prostat:
a. Terhadap urethra
Bila lobus medius membesar, biasanya arah ke atas mengakibatkan urethra pars prostatika bertambah panjang, dan oleh karena fiksasi ductus ejaculatorius maka perpanjangan akan berputar dan mengakibatkan sumbatan.
b. Terhadap vesica urinaria
Pada vesica urinaria akan didapatkan hypertropi otot sebagai akibat dari proses kompensasi, dimana muscle fibro menebal ini didapatkan bagian yang mengalami depresi (lekukan) yang disebut potensial divertikula.
Pada proses yang lebih lama akan terjadi dekompensasi dari pada otot-otot yang hypertropi dan akibatnya terjadi atonia (tidak ada kekuatan) dari pada otot-otot tersebut.
Kalau pembesaran terjadi pada medial lobus, ini akan membentuk suatu post prostatika pouch, ini adalah kantong yang terdapat pada kandung kemih dibelakang medial lobe.
Post prostatika adalah sebagai sumber dari terbentuknya residual urine (urine yang tersisa) dan pada post prostatika pouch ini juga selalu didapati adanya batu-batu di kandung kemih.
c. Terhadap ureter dan ginjal
Kalau keadaan urethra vesica valve baik, maka tekanan ke ekstra vesikel tidak diteruskan ke atas, tetapi bila valve ini rusak maka tekanan diteruskan ke atas, akibatnya otot-otot calyces, pelvis, ureter sendiri mengalami hipertropy dan akan mengakibatkan hidronefrosis dan akibat lanjut uremia.
d. Terhadap sex organ
Mula-mula libido meningkat, teatapi akhirnya libido menurun.
D. Gejala Klinik
Terbagi 4 grade yaitu :
1. Pada grade 1 (congestic)
a. Mula-mula pasien berbulan atau beberapa tahun susah kemih dan mulai mengedan.
b. Kalau miksi merasa puas.
c. Urine keluar menetes dan pancaran lemah.
d. Nocturia
e. Urine keluar malam hari lebih dari normal.
f. Ereksi lebih lama dari normal dan libido lebih dari normal.
g. Pada cytoscopy kelihatan hyperemia dari orificium urethra interna. Lambat laun terjadi varices akhirnya bisa terjadi perdarahan (blooding)
2. Pada grade 2 (residual)
a. Bila miksi terasa panas.
b. Dysuri nocturi bertambah berat.
c. Tidak bisa buang air kecil (kemih tidak puas).
d. Bisa terjadi infeksi karena sisa air kemih.
e. Terjadi panas tinggi dan bisa menggigil.
f. Nyeri pada daerah pinggang (menjalar ke ginjal).
3. Pada grade 3 (retensi urine)
a. Ischuria paradosal.
b. Incontinensia paradosal.
Pada grade 4
16.)Kandung kemih penuh.
17.)Penderita merasa kesakitan.
18.)Air kemih menetes secara periodik yang disebut over flow incontinensia.
19.)Pada pemeriksaan fisik yaitu palpasi abdomen bawah untuk meraba ada tumor, karena bendungan yang hebat.
20.)Dengan adanya infeksi penderita bisa menggigil dan panas tinggi sekitar 40 – 410 C.
21.)Selanjutnya penderita bisa koma.
Diagnostik test
Diagnosa klinik pembesaran prostat dapat ditegakkan dengan pemeriksaan sebagai berikut :
a. Anamnese yang baik
b. Pemeriksaan fisik
Dapat dilakukan dengan pemeriksaan rectal toucher, dimana pada pembesaran prostat jinak akan teraba adanya massa pada dining depan rectum yang konsistensinya kenyal, yang kalau belum terlalu besar masih dapat dicapai batas atasnya dengan ujung jari, sedang apabila batas atasnya sudah tidak teraba biasanya jaringan prostat sudah lebih dari 60 gr.
c. Pemeriksaan sisa kemih
d. Pemeriksaan ultra sonografi (USG)
Dapat dilakukan dari supra pubic atau transrectal (Trans Rectal Ultra Sonografi :TRUS). Untuk keperluan klinik supra pubic cukup untuk memperkirakan besar dan anatomi prostat, sedangkan TRUS biasanya diperlukan untuk mendeteksi keganasan.
e. Pemeriksaan endoskopy
Bila pada pemeriksaan rectal toucher, tidak terlalu menonjol tetapi gejala prostatismus sangat jelas atau untuk mengetahui besarnya prostat yang menonjol ke dalam lumen.
f. Pemeriksaan radiologi
Dengan pemeriksaan radiology seperti foto polos perut dan pyelografi intra vena yang sering disebut IVP (Intra Venous Pyelografi) dan BNO (Buich Nier Oversich). Pada pemeriksaan lain pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek irisan kontras pada dasar kandung kemih dan ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail/pancing (fisa hook appearance).
g. Pemeriksaan CT- Scan dan MRI
Computed Tomography Scanning (CT-Scan) dapat memberikan gambaran adanya pembesaran prostat, sedangkan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat memberikan gambaran prostat pada bidang transversal maupun sagital pada berbagai bidang irisan, namun pameriksaan ini jarang dilakukan karena mahal biayanya.
h. Pemeriksaan sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. pemeriksaan ini dapat memberi gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas apabila darah datang dari muara ureter atau batu radiolusen di dalam vesica. Selain itu sistoscopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang urethra pars prostatica dan melihat penonjolan prostat ke dalam urethra.
i. Pemeriksaan lain
Secara spesifik untuk pemeriksaan pembesaran prostat jinak belum ada, yang ada ialah pemeriksaan penanda adanya tumor untuk karsinoma prostat yaitu pemeriksaan Prostatic Spesifik Antigen (PSA), angka penggal PSA ialah 4 nanogram/ml.
Diagnosa banding
Oleh karena adanya proses miksi tergantung pada kekuatan kontraksi detrusor, elastisitas leher kandung kemih dengan tonus ototnya dan resistensi urethra yang merupakan faktor dalam kesulitan miksi. Kelemahan detrusor disebabkan oleh kelainan saraf (kandung kemih neurologik) misalnya : Lesi medulla spinalis, penggunaan obat penenang. Kekakuan leher vesica disebabkan oleh proses fibrosis, sedangkan resistensi urethra disebabkan oleh pembesaran prostat jinak atau ganas, tumor di leher kandung kemih, batu di urethra atau striktur urethra.
Pengobatan
Setiap kesulitan miksi yang diakibatkan dari salah satu faktor seperti berkurangnya kekuatan kontraksi detrusor atau menurunya elastisitas leher vesica, maka tindakan pengobatan ditujukan untuk mengurangi volume prostat, mengurangi tonus leher vesica atau membuka urethra pars prostatica dan menambah kekuatan kontraksi detrusor agar proses miksi menjadi mudah.
Pengobatan untuk hipertropy prostat ada 2 macam :
a.Konsevatif
b.Operatif
Dalam pengobatan ini dilakukan berdasarkan pembagian besarnya prostat, yaitu derajat 1 – 4.
a.Derajat I
Dilakukan pengobatan koservatif, misalnya dengan fazosin, prazoin dan terazoin (untuk relaksasi otot polos).
b.Derajat II
Indikasi untuk pembedahan. Biasanya dianjurkan resekesi endoskopik melalui urethra.
c.Derajat III
Diperkirakan prostat cukup besar dan untuk tindakan yang dilakukan yaitu pembedahan terbuka melalui transvesical, retropubic atau perianal.
d.Derajat IV
Membebaskan penderita dari retensi urine total dengan memasang catheter, untuk pemeriksaan lebih lanjut dalam pelaksanaan rencana pembedahan.
Konservatif.
Pengobatan konservatif ini bertujuan untuk memperlambat pertumbuhan pembesaran prostat. Tindakan dilakukan bila terapi operasi tidak dapat dilakukan, misalnya : menolak operasi atau adanya kontra indikasi untuk operasi.
Tindakan terapi konservatif yaitu :
a.Mengusahakan agar prostat tidak mendadak membesar karena adanya infeksi sekunder dengan pemberian antibiotika.
b.Bila retensi urine dilakukan catheterisasi.
Operatif
Pembedahan merupakan pengobatan utama pada hipertropi prostat benigna (BPH), pada waktu pembedahan kelenjar prostat diangkat utuh dan jaringan soft tissue yang mengalami pembesaran diangkat melalui 4 cara yaitu (a) transurethral (b) suprapubic (c) retropubic dan (d) perineal.
Transurethral.
Dilaksanakan bila pembesaran terjadi pada lobus medial yang langsung mengelilingi urethra. Jaringan yang direseksi hanya sedikit sehingga tidak terjadi perdarahan dan waktu pembedahan tidak terlalu lama. Rectoscope disambungkan dengan arus listrik lalu di masukkan ke dalam urethra.Kandung kemih di bilas terus menerus selama prosedur berjalan.Pasien mendapat alat untuk masa terhadap shock listrik dengan lempeng logam yang di beri pelumas di tempatkan pada bawah paha.Kepingan jaringan yang halus di buang dengan irisan dan tempat-tempat perdarahan di tutup dengan cauter.
Setelah TURP di pasang catheter Foley tiga saluran yang di lengkapi balon 30 ml.Setelah balon catheter di kembangkan, catheter di tarik ke bawah sehingga balon berada pada fosa prostat yang bekerja sebagai hemostat.Ukuran catheter yang besar di pasang untuk memperlancar pengeluaran gumpalan darah dari kandung kemih.
Kandung kemih diirigasi terus dengan alat tetesan tiga jalur dengan garam fisiologisatau larutan lain yang di pakai oleh ahli bedah.Tujuan dari irigasi konstan ialah untuk membebaskan kandung kemih dari ekuan darah yang menyumbat aliran kemih.Irigasi kandung kemih yang konstan di hentikan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan dari kandung kemih.Kemudian catheter bisa dibilas biasa tiap 4 jam sekali sampai catheter di angkat biasanya 3 sampai 5 hari setelah operasi.Setelah catheter di angkat pasien harus mengukur jumlah urine dan waktu tiap kali berkemih.
Suprapubic Prostatectomy.
Metode operasi terbuka, reseksi supra pubic kelenjar prostat diangkat dari urethra lewat kandung kemih.
Retropubic Prostatectomy
Pada prostatectomy retropubic dibuat insisi pada abdominal bawah tapi kandung kemih tidak dibuka.
Perianal prostatectomy.
Dilakukan pada dugaan kanker prostat, insisi dibuat diantara scrotum dan rectum.
Komplikasi
a.Perdarahan
b.Inkotinensia
c.Batu kandung kemih
d.Retensi urine
e.Impotensi
f.Epididimitis
g.Haemorhoid, hernia, prolaps rectum akibat mengedan
h.Infeksi saluran kemih disebabkan karena catheterisasi
i.Hydronefrosis
Hal-hal yang harus dilakukan pada pasien setelah pulang dari rumah sakit adalah ;
latihan berat, mengangkat berat dan sexual intercourse dihindari selama 3 minggu setelah dirumah.
Tidak boleh membawa kendaraan.
Mengedan pada saat defekasi harus dihindari, faeces harus lembek kalau perlu pemberian obat untuk melembekkan faeces.
Menganjurkan banyak minum untuk mencegah statis dan infeksi dan membuat faeces lembek.
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan pasien dengan hipertropi prostat melalui pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian keperawatan, perencanaan keperawatan, pelaksanaan dan evaluasi keperawatan.
Pengkajian Keperawatan
Pengumpulan data
Data dasar yang berhubungan dengan post operasi hipertropi prostat. Mengelompokkan data merupakan langkah yang dilakukan setelah mengadakan pengumpulan data yang diperoleh sebagai berikut :
Nyeri pada daerah tindakan operasi.
Pusing.
Perubahan frekuensi berkemih.
Urgensi.
Dysuria
Flatus negatif.
Luka tindakan operasi pada daerah prostat.
Retensi, kandung kemih penuh.
Inkontinensia
Bibir kering.
Puasa.
Bising usus negatif.
Ekspresi wajah meringis.
Pemasangan catheter tetap.
Gelisah.
Informasi kurang.
Urine berwarna kemerahan.
Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan disusun menurut prioritas masalah pada pasien post operasi hipertropi prostat, adalah sebagai berikut :
Perubahan eliminasi urine berhubungan obstruksi mekanikal : bekuan darah, oedema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi catheter/balon.
Resiko terjadi kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah vaskuler : kesulitan mengontrol perdarahan.
Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive : alat selama pembedahan, catheter, irigasi kandung kemih sering, trauma jaringan, insisi bedah.
Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih : refleks spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan / tekanan dari balon kandung kemih.
Resiko terjadi disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis (inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan catheter, keterlibatan area genital).
Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.
Perencanaan Keperawatan
Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanikal : bekuan darah, oedema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan irigasi catheter/balon, ditandai dengan :
Nyeri pada daerah tindakan operasi.
Perubahan frekuensi berkemih.
Urgensi.
Dysuria.
Pemasangan catheter tetap.
Adanya luka tindakan operasi pada daerah prostat.
Urine berwarna kemerahan.
Tujuan : Klien mengatakan tidak ada keluhan, dengan kriteria :
Catheter tetap paten pada tempatntya.
Tidak ada sumbatan aliran darah melalui catheter.
Berkemih tanpa aliran berlebihan.
Tidak terjadi retensi pada saat irigasi.
Intervensi :
Kaji haluaran urine dan sistem catheter/drainase, khususnya selama irigasi kandung kemih.
Rasional :
Retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan darah dan spasme kandung kemih.
Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah catheter dilepas.
Rasional :
Catheter biasanya dilepas 2 – 5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema urethral dan kehilangan tonus.
Dorong klien untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi tidak lebih dari 2 – 4 jam.
Rasional :
Berkemih dengan dorongan dapat mencegah retensi, urine. Keterbatasan berkemih untuk tiap 4 jam (bila ditoleransi) meningkatkan tonus kandung kemih dan membantu latihan ulang kandung kemih.
Ukur volume residu bila ada catheter supra pubic.
Rasional :
Mengawasi keefektifan kandung kemih untuk kosong. Residu lebih dari 50 ml menunjukkan perlunya kontinuitas catheter sampai tonus otot kandung kemih membaik.
Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi.
Rasional :
Mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine.
Kolaborasi medis untuk irigasi kandung kemih sesuai indikasi pada periode pasca operasi dini.
Rasional :
Mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan untuk mempertahankan patensi catheter/aliran urine.
Resiko terjadi kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah vaskuler : kesulitan mengontrol perdarahan, ditandai dengan :
Pusing.
Flatus negatif.
Bibir kering.
Puasa.
Bising usus negatif.
Urine berwarna kemerahan.
Tujuan : Tidak terjadi kekurangan volume cairan, dengan kriteria :
Tanda-tanda vital normal.
Nadi perifer teraba.
Pengisian kapiler baik.
Membran mukosa baik.
Haluaran urine tepat.
Intervensi :
Benamkan catheter, hindari manipulasi berlenihan.
Rasional :
Penarikan/gerakan catheter dapat menyebabkan perdarahan atau pembentukan bekuan darah.
Awasi pemasukan dan pengeluaran cairan.
Rasional :
Indicator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian. Pada irigasi kandung kemih, awasi perkiraan kehilangan darah dan secara akurat mengkaji haluaran urine.
Evaluasi warna, komsistensi urine.
Rasional :
Untuk mengindikasikan adanya perdarahan.
Awasi tanda-tanda vital
Rasional :
Dehidrasi/hipovolemia memerlukan intervensi cepat untuk mencegah berlanjut ke syok. Hipertensi, bradikardi, mual/muntah menunjukkan sindrom TURP, memerlukan intervensi medik segera.
Kolaborasi untuk pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi (Hb/Ht, jumlah sel darah merah)
Rasional :
Berguna dalam evaluasi kehilangan darah/kebutuhan penggantian.
Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan, catheter, irigasi kandung kemih sering, trauma jaringan, insisi bedah, ditandai dengan :
Nyeri daerah tindakan operasi.
Dysuria.
Luka tindakan operasi pada daerah prostat.
Pemasangan catheter tetap.
Tujuan : Menunjukkan tidak tampak tanda-tanda infeksi, dengan kriteria :
Tidak tampak tanda-tanda infeksi.
Inkontinensia tidak terjadi.
Luka tindakan bedah cepat kering.
Intervensi :
Berikan perawatan catheter tetap secara steril.
Rasional :
Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi/cross infeksi.
Ambulasi kantung drainase dependen.
Rasional :
Menghindari refleks balik urine, yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih.
Awasi tanda-tanda vital.
Rasional :
Klien yang mengalami TUR beresiko untuk syok bedah/septic sehubungan dengan instrumentasi.
Ganti balutan dengan sering, pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang waktu.
Rasional :
Balutan basah dapat menyebabkan iritasi, dan memberikan media untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko infeksi.
Kolaborasi medis untuk pemberian golongan obat antibiotika.
Rasional :
Dapat membunuh kuman patogen penyebab infeksi.
Gangguan rasa nyaman ; nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih : refleks spasme otot berhubungan dengan prosedur bedah dan/tekanan dari balon kandung kemih, ditandai dengan :
Nyeri pada daerah tindakan operasi.
Luka tindakan operasi.
Ekspresi wajah meringis.
Retensi urine, sehingga kandung kemih penuh.
Intervensi :
Kaji tingkat nyeri.
Rasional :
Mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan klien dan memudahkan kita dalam memberikan tindakan.
Pertahankan posisi catheter dan sistem drainase.
Rasional :
Mempertahankan fungsi catheter dan sistem drainase, menurunkan resiko distensi/spasme kandung kemih.
Ajarkan tekhnik relaksasi.
Rasional :
Merileksasikan otot-otot sehingga suplay darah ke jaringan terpenuhi/adekuat, sehingga nyeri berkurang.
Berikan rendam duduk bila diindikasikan.
Rasional :
Meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema dan meningkatkan penyembuhan.
Kolaborasi medis untuk pemberian anti spasmodic dan analgetika.
Rasional :
Golongan obat anti spasmodic dapat merilekskan otot polos, untuk memberikan/menurunkan spasme dan nyeri.
Golongan obat analgetik dapat menghambat reseptor nyeri sehingga tidak diteruskan ke otak dan nyeri tidak dirasakan.
Resiko terjadi disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis (inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan catheter, keterlibatan area genital) ditandai dengan :
Tindakan pembedahan kelenjar prostat.
Tujuan : Fungsi seksual dapat dipertahankan, kriteria :
Pasien dapat mendiskusikan perasaannya tentang seksualitas dengan orang terdekat.
Intervensi :
Berikan informasi tentang harapan kembalinya fungsi seksual.
Rasional :
Impotensi fisiologis : terjadi bila saraf perineal dipotong selama prosedur bedah radikal ; pada pendekatan lain, aktifitas seksual dapat dilakukan seperti biasa dalam 6 – 8 minggu.
Diskusikan dasar anatomi.
Rasional :
Saraf pleksus mengontrol aliran secara posterior ke prostat melalui kapsul. Pada prosedur yang tidak melibatkan kapsul prostat, impoten dan sterilitas biasanya tidak terjadi.
Instruksikan latihan perineal.
Rasional :
Meningkatkan peningkatan kontrol otot kontinensia urine dan fungsi seksual.
Kolaborasi ke penasehat seksualitas/seksologi sesuai indikasi.
Rasional :
Untuk memerlukan intervensi professional selanjutnya.
Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi, ditandai dengan :
Gelisah.
Informasi kurang
Tujuan : Klien mengungkapkan anxietas teratasi, dengan kriteria :
Klien tidak gelisah.
Tampak rileks
Intervensi :
Kaji tingkat anxietas.
Rasional :
Mengetahui tingkat anxietas yang dialami klien, sehingga memudahkan dalam memberikan tindakan selanjutnya.
Observasi tanda-tanda vital.
Rasional :
Indikator dalam mengetahui peningkatan anxietas yang dialami klien.
Berikan informasi yang jelas tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.
Rasional :
Mengerti/memahami proses penyakit dan tindakan yang diberikan.
Berikan support melalui pendekatan spiritual.
Rasional :
Agar klien mempunyai semangat dan tidak putus asa dalam menjalankan pengobatan untuk penyembuhan
Pelaksanaan Asuhan Keperawatan.
Pada langkah ini, perawat memberikan asuhan keperawatan, yang pelaksanaannya berdasarkan rencana keperawatan yang telah disesuaikan pada langkah sebelumnya (perencanaan tindakan keperawatan).
Evaluasi Keperawatan.
Asuhan keperawatan dalam bentuk perubahan prilaku pasien merupakan focus dari evaluasi tujuan, maka hasil evaluasi keperawatan dengan post operasi hipertropi prostat adalah sebagai berikut :
Pola eliminasi urine dapat normal.
Kriteria hasil :
Menunjukkan prilaku untuk mengendalikan refleks kandung kemih.
Pengosongan kandung kemih tanpa adanya penekanan/distensi kandung kemih/retensi urine.
Terpenuhinya kebutuhan cairan.
Kriteria hasil :
Tanda-tanda vital normal
Nadi perifer baik/teraba.
Pengisian kapiler baik.
Membran mukosa lembab.
Haluaran urine tepat.
Mencegah terjadinya infeksi.
Kriteria hasil :
Tercapainya penyembuhan dan tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi.
Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.
Kriteria hasil :
Menunjukkan keterampilan penggunaan relaksasi dan aktifitas terapeutik sesuai indikasi dan situasi individu.
Tampak rileks.
Fungsi seksual dapat dipertahankan.
Kriteria hasil :
Menyatakan pemahaman situasi individual
Menunjukkan keterampilan pemecahan masalah.
Klien mengerti/memahami tentang penyakitnya.
Kriteria hasil :
Berpartisipasi dalam program pengobatan.
Melakukan perubahan prilaku yang perlu.
Melakukan dengan benar prosedur yang perlu dan menjelaskan alasan tindakan.

DAFTAR PUSTAKA

1.Basuki B Purnomo, 2000, Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KTD), Jakarta.
2.Doenges, Marilynn E, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan – Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Alih Bahasa : I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Editor : Monica Ester, Yasmin Asih, Edisi : Ketiga, EGC ; Jakarta,.
3.Guyton, Arthur C, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Editor, Irawati. S, Edisi : 9, EGC ; Jakarta.
4.Kumpulan Kuliah, 2001, Modul Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan, Makassar.
5.Long, Barbara C, 1996, Keperawatan Medikal Bedah; Suatu Pendekatan Proses Keperawatan, Edisi I, Volume 3, Yayasan IAPK Padjajaran, Bandung.
6.Schwartz, dkk, 2000, Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Editor : G. Tom Shires dkk, EGC ; Jakarta.
7.Jong, Wim de, dan Syamsuhidayat R, 1998, Buku Ajar Ilmu Bedah, Editor : R. Syamsuhidajat, Wim De Jong, Edisi revisi : EGC ; Jakarta.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

ASUHAN KEPERAWATAN BRONCHOPNEUMONIA By Udin

ASUHAN KEPERAWATAN BRONCHOPNEUMONIA

A.DEFINISI
Bronchopneumoni adalah radang pada paru – paru yang mengenai satu/ beberapa lobus paru – paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrasi, dapat teratur dalam satu aatu lebih didalam brongkhus dan meluas sampai ke area parenkim paru.

B. ETIOLOGI
Penyebab secara umum penyakit brongkhopneumonia adalah :
1. Bakteri
a. Pneumococcus misalnya penyebab utama pneumonia pada anak disebabkan oleh pneumococcus tipe I4, I, 6 dan 9
b. Streptococcus; merupakan komplikasi penyakit virus lain seperti morbili, varicella, pertusis dan pneumonia
c. Basil garam positip seperti H. Influenza, tuberculosa
2. Virus
Virus “respiratory sinctial” , virus influenza, virus siomegalik
3. Aspirasi
Makanan misalnya tetanus neonatorum, benda asing, kerosin (minyak tanah) dan cairan amnion
4. Pneumonia hipostatik
Penyakit ini disebabkan tidur terlentang terlalu lama, miaslnya pada anak dengan kesadaran menurun
5. Jamur
Candida albicans, histoplasmosis capsulatum, blastomicus, kalsidomikosis dan actinomicosis
6. Sindrom Loeffer
Pada foto roentgen terdapat infiltrate yang didapat dari satu lobus lain yang sebenarnya infiltrate eosinofil


C. KLASIFIKASI
Brongkhopneumonia menurut lokasinya terbagi atas ;
1. Pneumonia lobaris : mencakup satu lebih dari satu lobus
2. Pneumonia brongkhialis : inflamasi yang sebenarnya secret mukopurulent yang berkonsolidasi dengan lobus yang terdekat
3. Pneumonia intensitas : proses inflamasi terjadi pada dinding alveolar dan peribrongkhial  jaras interlobaris

D. PATOFISIOLOGI
1. Adanya gangguan pada terminal jalan napas dan alveoli oleh mikroorganisme pathogen yaitu virus, stafilococcus, hemofilus influenza
2. Terdapat infiltrate yang biasanya mengenai pada multiple lobus, terjadinya destruksi sel dengan meninggalkan debris seluler kedalam lumen yang mengakibatkan gangguan funsi alveolar dan jalan napas

E. MANIFESTASI KLINIK
Biasanya gejala penyakt datang mendadak, tetapi kadang-kadang didahului oleh infeksi traktur respiratorius bagian atas. Pada anak besar bisa disertai anak menggigil dan pada bayi disertai kejang. Suhu naik cepat sampai 39-40C dan suhu ini biasanya tife febris kontinyu. Nafas menjadi sesak, disertai nafas cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut dan nyeri pada dada. Anak lebih suka tiduran pada sebelah dada yang terkena. Batuk mula-mula kering, kemudian menjadi produktif. Pada pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan fisik tampak gejala khas tampak setelah 1 – 2 hari. Pada permulaan suara pernafasan melemah sedangkan pada perkusi tidak jelas ada kelainan. Setelah terjadi kongesti, ronchi basah akan terdengar yang segera menghilang setelah terjadi konsolidasi. Kemudian pada perkusi jelas terjadi keredupan dengan suara pernafasan sub-bronchial sampai bronchial. Pada stadium revolusi ronchi terdengar lebih jelas. Pada inspeksi dan palpasi tampak pergeseran toraks yang terkena berkurang. Tanpa pengobatan bisa terjadi penyembuhan dengan krisis sesudah 5 – 9 hari
.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Rontgen
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan kelainan sebelum hal ini dapat ditemukan secara pemeriksaan fisik. Pada bronchopneumonia bercak – bercak infiltrat didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Pada pneumonia lobaris terlihat adanya konsosolidasi pada satu atau beberapa lobus. Pada pneumonia lobaris terlihat adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus. Foto rongent dapat juga menunjukkan adanya komplikasi pada satu atau beberapa lobus. Foto rongent dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti pleuritis, abses paru, perikarditis dll.
2. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 – 40.000/mm3 dengan pergeseran ke kiri. Kuman penyebab dapat dibiakkan dari usapan tenggorokan dan 30% dari darah. Urine biasanya berwarna lebih tua, mungkin terdapat albuminuria ringan karena suhu yang naik dan sedikit torak hialin

G. KOMPLIKASI
Dengan penggunaan antibiotika, komplikasi hampir tidak pernah dijumpai.. Kompli-kasi yang dapat dijumpai ialah, empiema, otitis media akut. Komplikasi lain seperti meningitis, perikarditis ( jarang dijumpai )

H. PENCEGAHAN
1. Penyuluhan terutama ditujukan untuk mencegah terjadinya penyakit pneumonia atau dengan memberikan pengertian jika anak batuk, pilek disertai demam sudah dua hari dan tidak ada perbaikan agar segera dibawa ketempat pelaynan kesehatan terdekat
2. Pada bayi dan anak kecil yang keadaan umumnya lemah. Misalnya semalam dia diare anak sering batuk, janganlah dibawa keluar malam.




I. PENATALAKSANAAN MEDIK
Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi pasien perlu terapi secepatnya :
1. Penicillin 50.000 mg/kg bb/hari
2. Kloramphenicol 50 – 75 mg/kg bb/hari atau berikan antibiotic dengan spectrum luas
3. Pemberian oksigen dan IVFD, jenis cairan yang digunakan adalah campuran glukosa 5 % dan NaCl 0,9 % perbandingan 3:1 ditambah larutan KCl 10 g/500 mg botol infuse
4. Karena sebagian besar pasien jatuh dalam kondisi asidosis metabolic akibat kurang makan dan hipoksia maka dapat diberikan koreksi sesuai dengan hasil analisa gas darah arteri

J. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Anamnesis: pilek, batuk, demam dan sesak napas
b. Pemeriksan fisik : penapasan cuping hidung, retraksi dinding dada dan menggunakan otot Bantu pernapasan, demam, terdapat rongkhi
c. Sistem kardiovaskuler dan pernapasan : anak gelisah, dispnu, pernapasan cepat dan dangkal, dapat timbul cyanosis, batuk, bunyi jantung I dan II redup bila sarang BP mrnjadi satu
d. Gastro intestinal : Diare terjadi kadang-kadang, mual dan muntah, turgor kulit jelek, bibir kering dan pecah-pecah
e. Muskuloskletal : otot dapat atropi, tonus otot menurun, pergerakan terbatas,
f. Hematologik : TTV meningkat, keadaan umum gelisah, warnu kulit pucat
g. Endokrin : TB dan BB seimbang
h. Renal : urin biasanya berwarna lebih tua, mungkin terdapat albuminuria ringan karena peningkatan suhu tubuh


2. Diagnosa keperawatan
a. Bersihan jalan nafas, tak efektif, dapat berhubungan dengan : inflamasi trakeabranchial, pembentukan edema, peningkatan produksi sputum, nyeri fleuritik. Penurunan energi, kelemahan.
Tujuan : Menunjukkan prilaku mencapai bersihan jalan nafas, menunjukkan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih, tak ada dispnoe.
Tindakan / intervensi :
Mandiri
1) Auskultasi area paru, catat area penurunan/tak ada aliran udara dan bunyi nafas, misalnya : krekels, mengi.
Rasional : Penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi dengan cairan, bunyi nafas bronchial ( normal pada bronchus ) dapat juga terjadi pada area konsolidasi. Krekels dan ronchi dan mengi terdengar pada inspirasi dan / atau ekspirasi pada respon terhadap pengumpulan cairan, secret kental dan spasme jalan nafas / obstruksi.
2) Bantu pasien latihan nafas sering. Tunjukkan / Bantu pasien mempelajari melakukan batuk, missal menekan dada dan batuk efektif sementara posisi duduk tinggi.
Rasional : Nafas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru-paru/jalan nafas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme pembersihan jalan nafas alami, membantu silia untuk mempertahankan jalan nafas paten.
3) Pengisapan sesuai indikasi
Rasional : Merangsang batuk atau pembersihan jalan nafas secara mekanik pada pasien yang tak mampu melakukan karena batuk tak efektif atau penurunan tingkat kesadaran.
4) Berikan cairan sedikitnya 2500 ml ml/hari ( kecuali kontraindikasi ). Tawarkan air hangat dari pada dingin.
Rasional : Cairan kususnya yang hangat memobilisasi dan mengeluarkan sekret.

Kolaborasi
1) Bantu mengawasi efek pengobatan
Rasional : Memudahkan pengenceran dan pembuangan sekret.
2) Berikan obat sesuai indikasi, mukoliti, ekspentoran, bronchodilator & analgesik
Rasional : Alat untuk menurunkan spasme bronchus dengan mobilisasi sekret. Analgesik untuk memperbaiki batuk dengan menurunkan ketidaknyaman tapi harus digunakan secara hati-hati karena dapat menekan pernafasan.
b. Pertukaran gas, kerusakan dapat dihubungkan dengan ; perubahan membran alveolar – kapiler ( efek inflamasi ), gangguan kapasitas pembawa oksigen darah.
Tujuan : Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang normal dan tak ada gejala distress pernafasan.
Tindakan / intervensi :
Mandiri :
1) Kaji frekwensi, kedalaman dan kemudahan bernafas.
Rasional : manifestasi distress pernafasan tergantung pada indikasi derajat keterlibatan paru dan status kesehatan umum.
2) Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku, catat adanya sianosis perifer ( kuku ) atau sianosis sentral.
Rasional : Sianosis kuku menunjukkan vasokontriksi atau espon tubuh terhadap demam / menggigil.
3) Kaji status mental
Rasional : Gelisah, mudah terangsang, bingung dan somnolen dapat menunjukkan hipoksemia / penurunan oksigenasi serebral.
4) Awasi suhu tubuh sesuai indikasi
Rasional : Demam tinggi sangat meningkatkan kebutuhan metabolik dan kebutuhan oksigen dan mengganggu oksigenasi selular.
Kolaborasi
5) Berikan terapi oksigen dengan benar.
Rasional : Tujuan terapi oksigen adalah mempertahankan PaO2 di atas 60 mmHg. Oksigen diberikan dengan metode yang memberikan pengiriman tepat dalam toleransi pasien.
c. Infeksi, Risiko tinggi terhadap penyebaran, Kemungkinan berhubungan dengan : ketidakadekuatan pertahanan utama ( penurunan kerja silia, perlengketan sekret pernafasan )., tidak adekuatnya pertahanan sekunder, penyakit kronis, malnutrisi.
Tujuan : Mencapai waktu perbaikan infeksi berulang tanpa komplikasi, mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan risiko infeksi.
Tindakan / intervensi :
Mandiri
1) Pantau tanda vital dengan ketat, khusus selama awal terapi.
Rasional : selama periode waktu ini, potensial komplikasi fatal dapat terjadi.
2) Anjurkan pasien memperhatikan pengeluaran sekret dan melaporkan perubahan warna, jumlah dan bau sekret.
Rasional : Pengeluaran sputum amat penting, perubahan karakteristik sputum menunjukkan perbaikan pneumonia atau terjadinya infeksi sekunder.
3) Tunjukkan / dorong tehnik mencuci tangan yang baik
Rasional : Efektif berarti menurunkan penyebaran / tambahan infeksi
4) Ubah posisi dengan sering dan berikan pembuangan paru yang baik
Rasional : meningkatkan pengeluaran, pembersihan infeksi.
5) Batasi pengunjung sesuai indikasi
Rasional : menurunkan pemajanan terhadap patogen infeksi lain.
6) Lakukan isolasi pencegahan sesuai individual
Rasional : mencegah penyebaran / melindungi pasien dari proses infeksi lain.
7) Dorong keseimbangan istirahat adekuat dengan aktifitas sedang. Tingkatkan masukan nutrisi adekuat.
Rasional : Memudahkan proses penyembuhan dan meningkatkan tahanan alamiah.
Kolaborasi :
8) Berikan antimikrobial sesuai indikasi dengan hasil kultur sputum / darah, misalnya penicillin, eritromisin, tetrasiklin, amikain, sepalosporin & amantadin.
Rasional : untuk membunuh kebanyakan microbial. Komplikasi antiviral dan antijamur mungkin digunakan bila pneumonia diakibatkan oleh organisme campuran.
d. Intoleransi aktifitas kemungkinan berhubungan dengan : ktidak seimbangan anatar suplai dan kebutuhan oksigen, kelemahan umum, kelelahan.
Tujuan : Melaporkan / menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan tak adanya dispnoe, kelemahan berlebihan dan tanda vital dalam rentang normal.
Tindakan / intervensi :
Mandiri
1) Evaluasi respons pasien terhadap aktivitas.
Rasional : menetapkan kemampuan n/ kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan intervensi.
2) Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi .
Rasional : menurunkan stress dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat.
3) Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat.
Rasional : Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan metabolic, menghemat energi untuk penyembuhan.
4) Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat dan / atau tidur
Rasional : Pasien mungkin nyaman dengan kepala lebih tinggi.
e. Nutrisi kurang dari kebutuhan kemungkinan berhubungan dengan ; peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi, anoreksi dan distensi abdomen / gas.
Tujuan : Menunjukkan peningkatan nafsu makan mempertahankan/me-ningkatkan Berat badan.
Tindakan / intervensi :
Mandiri
1) indentifikasi factor yang menyebabkan mual / muntah misalnya : sputum banyak, pengobatan aerosol, dispnoe berat, nyeri.
Rasional : pilihan intervensi tergantung pada penyebaran masalah
2) Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin
Rasional : Menghilangkan tanda bahaya, rasa, bau dari lingkungan pasien dan dapat menurunkan mual.
3) Jadwalkan pengobatan pernafasan sedikitnya 1 jam sebelum makan.
Rasional : menurunkan efek mual yang berhubungan dengan pengobatan
4) Auskultasi bunyi usus , observasi / palpasi distensi abdomen
Rasional : Bunyi usus mungkin menurun / tak ada bila proses infeksi berat/memanjang.
5) Berikan makan porsi kecil tapi sering termasuk makanan kering
Rasional : Tindakan ini dapat meningktkan masukan meskipun nafsu makan mungkin lambat untuk kembali.
6) Evaluasi status nutrisi umum, ukur berat badan dasar.
Rasional : adanya kondisi kronis seperti PPOM atau keterbatasan keuangan dapat menimbulkan malnutrisi, rendahnya tahanan terhadap infeksi.
f. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan tindakan ; kemungkinan berhubungan dengan : kurang terpajan, kesalahan interpretasi.
Tujuan : Menyatakan pemahaman kondisi, proses penyakit, dan pengobatan, melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan.
Tindakan / intervensi :
1) Kaji fungsi normal paru, patologi kondisi
Rasional : Meningkatkan pemahaman situasi yang ada dan penting menghu bungkan dengan program pengobatan.
2) Diskusikan aspek ketidakmampuan dari penyakit, lamanya penyembuhan, dan harapan kesembuhan identifikasi perawatan diri dan kebutuhan / sumber pemeliharaan rumah
Rasional : informasi dapat meningkatkan koping dan menurunkan ansietas dan masalah berlebihan. Gejala pernafasan mungkin lambat untuk membaik, dan kelemahan dan kelelahan dapat menetap selama periode yang panjang.
3) Berikan informasi dalam bentuk tertulis dan / atau verbal
Rasional : Kelemahan dan depresi dapat mempengaruhi kemampuan untuk mengasimilasi informasi / mengikuti program medik.
4) Tekankan pentingnya melanjutkan batauk efektif / latihan pernafasan.
Rasional : selama awal 6 – 8 minggui setelah pulang, pasien beresiko besar untuk kambuh pneumonia.
5) Tekankan pentingnya melanjutkan terapi antibiotik selama periode yang dianjurkan.
Rasional : Penghentian dini antibiotik dapat mengakibatkan iritasi mukosa bronchus, dan menghambat makrofag, alveolar, mempengaruhi pertahanan alami tubuh melawan infeksi.

DAFTAR PUSTAKA

Cecily, L Beth, Linda A Sowden (2002), Buku Saku Keperawatan Pediatric, Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Donna L Wong, (2004), Pedoman Klinis Keperawatan Pediatric, Cetakan Pertama Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta

Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Volume 3 Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Marylin E Doenges . Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3 Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Price Silvia A & Wilson Lorraine M. Patofisiologi; Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran, EGC Jakarta.

Ngastiyah (1997), Keperawatan Anak Sakit, Edisi Pertama, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Suryadi SKp, Rita Yuliani SKp (2001), Asuhan Keperawatan Anak Edisi Pertama, PT Fajar Inter Pratama Jakarta
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

ASUHAN KEPERAWATAN HIDROSEFALUS By Udhin

ASUHAN KEPERAWATAN HIDROSEFALUS

A.Pengertian Hidrosefalus
Hidrosefalus adalah penumpukan cairan cerebrospiral secara aktif yang menyebabkan dilates sistem ventrikel otak akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absurlsi CSF (Swaiman : 1981).
Pengertian Hidrosefalus tergantung dua pengertian pokok, yaitu :
a. Kelebihan CSS
b. Peningkatan Tekanan Intrakronial (TIK)
B. Anatomi dan Fisiologi
1. Sistem Cairan Seregrospinal
Seluruh ruangan yg melingkungi otak dan anedulla spinalis mempunyai volume kira-kira 1.650 ml, dan kira-kira 150 ml dari volume ini ditempati oleh cairan serebrospinal. Cairan ini ditemukan dalam ventrikel otak, di dalam sisterna-sisterna sekitar otak, da, didalam ruang sub arakhnoid sekitar otak dan medulla spinalis. Semua ruang ini saling berhubungan dan tekanan cairan tersebut diatur pada suatu tingkat yg konstan.
2. Pembentukan LCS
Normal LCS diproduksi ± 0,35 ml/menit atau 500 ml/hari, dengan demikian LCS diperbaharui setiap 8 jam.
Pada anak dengan Hidrosefalus produksi LCS ternyata berkurang ± 0.30 ml/menit.
LCS dibentuk oleh :
a) Plexus Choroideus, yang merupakan bagian yang terbesar didalam ventrikel.
b) Parenchyma otak.
c) Arachnoid.
Pembentukan cairan serebrosfinal oleh plexus choroideus, merupakan suatu pertumbuhan pembuluh darah seperti blumkol yang dilapisi oleh selapis tipis sel-sel epitel. Plexus ini menjorok kedalam; -Kornu temporal ventri kelateral, -bagian posterior ventrikel ke-3, -atap ventrike ke-4.
Cairan serebrospinal terus keluar dari permukaan plexus choroideus, cairan ini tidak tepat sama atau cairan extra sel lainnya. Malahan konsentrasi natriumnya 7% lebih tinggi daripada konsentrasi didalam extra sel. Konsentrasi glukosa lebih rendah dan konsentrasi kalium 40% lebih rendah. Maka jelas bahwa cairan dari plexus choroideus tersebut bukan merupakan suatu filtrasi kapiler tetapi merupakan suatu sekresi choroideus.
3. Mekanisme Sekresi Cairan SP oleh Plexus Choroideus
Sel-sel epitel kuboit plexus choroideus secara aktif mensekresikan ion natrium yang menimbulkan suatu muatan positif didalam cairan seperti tersebut. Ini sebalkiknya menarik ion-ion bermuatan negative, terutama ion chloride, juga didalam serebrospinal tersebut, jadi timbul kelebuihan ion didalam cairan ventrikel, sebagai akibatnya tekanan osmotic cairan meningkat menjadi kira-kira 160 mmHg lebih tinggi daripada didalam plasma, dan kekutan osmotic ini menyebabkan sejumlah air dan zat terlarut lain bergraf melalui membrane choroideus kedalam cairan seperti tersebut. Karena difusi glukosa tidak semudah glukosa air, konsentrasi tetap agak rendah. Rendahnya konsentrasi kalium mungkin disebabkan oleh transport kalium dalam arah berlawanan melalui sel-sel epitel tersebut. Dasar utama untuk teori osmotic ini adalah konsentrasi zat-zat yang aktif secara osmotic didalam cairan serebrospinal 9 miliosmol lebih besar daripada yang didalam plasma. Perbedaan ini menimbulkan kekuatan osmotic sebesar 160 mmHg seperti dijelaskan diatas kecepatan sekresi choroideus ditaksir kira-kira 840 ml/hari, 5 – 6 kali jumlah total volume cairan didalam seluruh ruang cerebrospinal.
Difusi kedalam cairan cerebrospinal melalui permukaan meningen dan ependim. Permukaan ventrikel dilapisi oleh suatu epitel koboit tipis yang disebut hependima dan cairan cerebrospinal tersebut bersentuhan dalam permukaan ini pada semua tempat. Disamping itu cairan cerebrospinal mengisi ruang subaraktinoid diantara piameter yang melapisi otak dan membrane araknoid oleh karena itu cairan cerebrospinal berhubungan dengan daerah permukaan epenbrima dan meningen yang luas dan terjadi difusi terus-menerus diantara cairan cerebrospinal dan substansi otak dibawah ependima dan juga diantara cairan cerebrospinal dan pembuluh darah meningen, terutama pembuluh-pembuluh darah araknoid. Beberapa zat berdifusi melalui membrane ini dengan sangat cepat tetapi zat lain berdifusi dengan jelek.
Ruangan penvaskuler dan cairan cerebrospinal. Pembuluh darah yang memasuki substansi otak pertama berjalan sepanjang permukaan otak dan kemudian menembus kedalam, dan membawa satu lapis piameter bersama mereka. Lapisan piameter hanya melekat dengan longgar ke pembuluh tersebut sehingga terjadi suatu ruangan, ruang perivaskuler diantara pia dan pembuluh darah. Ruang penvaskuler mengikuti arteri dan vena kedalam otak sampai sejauh arteriol dan venula, tetapi tidak sampai ke kapiler.
Fungsi ruang perivaskuler sebagai pembuluh limfe. Sama halnya ditempat lain dalam tubuh, sejumlah kecil protein keluar dari kapiler parenkim dan masuk kedalam ruang interstisial otak, dan tidak ada pembuluh limfe sejati didalam otak, protein ini meninggalkan jaringan tersebut, terutama melalui ruangan perivaskuler tetapi sebagian juga dengan difusi langsung melalui piameter kedalam ruang subaraknoid. Setelah mencapai ruang subaraknoid, protein tersebut mengalir bersama cairan cerebrospinal untuk diabsosi melalui vilus araknoid kedalam vena cerebral. Oleh karena itu ruang perivaskuler sebenarnya merupakan suatu modifikasi sistem limfe untuk otak. Disamping menyalurkan cairan dan protein ruang perivaskuler juga menyalurkan vartikel asing dari otak kedalam ruang subaraknoid misalnya bilamana terjadi infeksi dalam otak sel-sel darah putih yang mati dikeluarkan melalui ruang perivaskulker tersebut.
4. Komposisi Cairan Serebrospinal
a. Protein : 2 – 25 mg/100 ml 20 – 45 gl
b. Glukosa : 50 – 85 mg/100 ml 2,2 – 3,4 mmol/l
c. Khloride : 120 – 140 meg/l 120 – 130 mmol/l
d. Volume : 120 – 140 ml
e. Tekanan : 70 – 160 mm air

5. Absorbsi Cairan Cerebrospinal – Villous Arachnoids
Hampir semua cairan cerebrospinal yang dibentuk setiap hari direabsorbsi kedalam darah melalui struktur-struktur khusus yang disebut vilus araknoid atau granulasi yang menjorok dari ruang sub araknoid kedalam sinus pinusus otak dan jarang-jarang kedalam vena kanalis spinalis. Vilus araknoid tersebut merupakan trabekula araknoid yang menonjol melalui dinding vena, sehingga menimbulkan daerah yang sangat permiabel yang memungkinkan aliran cairan cerebrospinal yang relative bebas juga molekul protein, dan bahkan partikel-partikel kecil dan ukurannya kurang dari 1 mm ) kedalam darah.
6. Sirkulasi Cairan Cerebrospinal
Melalui pemeriksaan radio isotop, ternyata LCS mengalir dari tempat pembentukannya ketempat absorbsinya. LCS mengalir dari kedua ventrikel lateralis melalui sepasang foramen Mondro kedalam ventrikel III, dari sini melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV. Melalui satu pasang foramen luschka LCS mengalir keluar rongga sub arahnoid di sekitar batang otak menuju Cisterna Cerebello Pontine dan Cisterna Propentis. Cairan yang keluar melalui foramen Magendia menuju ke Cisterna Magna. Dari sini mengalir ke superior dalam rongga sub arahnoid ke dua Hemisphere Cerebellum ke Caudal menuju rongga Sub Arahnoid Spinalis dan ke Cranial menuju Cistema Infra tentorial. Melalui Cistema Basalis , LCS akan dialirkan ke seluruh Cistema di supratentorial dan kedua hemisphere cortex cerebri.
Sirkulasi berakhir di Sinus Doramatis : dimana terjadi absorbsi melalui Villi Arahnidialis, yang berhubungan dengan sistem vena seperti : Venusus Cerebral.
7. Fungsi Cairan Cerebrospinal
Fungsi utama cairan cerebrospinal melindungi otak dikala kubahnya yang padat. Bila tidak ada fungsi ini, pukulan apapun di kepala akan menyebabkan otak berputar dan rusak hebat. Meskipun demikian otak dan cairan cerebrospinal tersebut mempunyai berat jenis yang kira-kira sama sehingga otak hanya terapung didalam cairan tersebut. Oleh karena itu pukulan pada kepala menggerakkan otak secara serentak, sehingga menyebabkan tidak ada bagian otak yang diubah bentuknya untuk sementara waktu oleh pukulan tersebut. Fungsi cairan cerebrospinal yaitu :
a. Untuk mempertahankan volume konstan didalam tulang tengkorak dengan meningkatkan atau menurunkan jumlah cairan sesuai dengan kenaikan atau penurunan dari kandungan cranial lainnya.
b. Untuk bertindak sebagai buffer melindungi otak dari kejutan.
c. Berfungsi dalam pertukaran nutrient antara plasma dan kompartemen seluler.
C. Klasifikasi
Klasifikasi hydrocephalus cukup beragam, bergantung pada faktor yang berkaitan dengannya. Berikut ini klasifikasi hydrocephalus yang sering dijumpai diberbagai buku :
1. Menurut gambaran klinik, dikenal hydrocephalus yang manifest (over hydrocephalus) dan hydrocephalus yang tersembunyi ( occult hydrocephalus). Hidrocephalus yang tampak jelas dengan tanda-tanda klinis yang khas di sebut hydrocephalus yang manifest. Sementara itu, hydrocephalus dengan ukuran kepala yang normal disebut sebagai hydrocephalus yang tersembunyi.
2. Menurut waktu pembentukan, dikenal hydrocephalus congenital dan hydrocephalus akuisita. Hydrocephalus yang terjadi pada neonatus atau yang berkembang selama intra-uterin disebut hydrocephalus kogenital. Hydrocephalus yang terjadikarena cedera kepala selama proses kelahiran disebut hydrocephalus invantil. Hydrocephalus Akuisita adalah hydrocephalus yang terjadi setelah masa neonatus atau disebabkan oleh faktor-faktor lain setelah masa neonatus.
3. Menurut proses terbentuknya hydrocephalus, dikenal hydrocephalus akut dan hydrocephalus kronik. Hydrocephalus akut adalah hydrocephalus yang terjadi secara mendadak sebagai akibat obstruksi atau gangguan absosrbsi CSS. Disebut hydrocephalus kronik apabila perkembangan hydrocephalus terjadi setelah aliran CSS mengalami obstruksi beberap minggu.
4. Menurut sirkulasi CSS, dikenal hydrocephalus komunikans komunikans dan hydrocephalus non-komunikans berarti CSS sistem ventrikulus tidak berhubungan dengan CSS ruang subaraknoid misalnya yang terjadi bila akuaduktus sylvii, atau foramina luschka dan magendie tersumbat stenosis akuaduktus sylvius pada bayi dan anak yang berumur kurang dari 2 tahun mungkin disebabkan oleh infeksi intrauterine berupa meningoensefalitis virus atau bakteri, anoksia dan perdarahan intracranial akibat cedera perinatal.Hydrocephalus communicants adalah hydrocephalus yang memperlihatkan adanya hubungan antara CSS sistem ventrikulus dan CSS dari ruang subarachnoid; contohnya, terjadi bila penyerapan CSS kedalam villi araknoidalis terhambat. Cara memeriksanya : disuntikan zat warna kedalam ventrikel lateral, kemudian dilakukan pungsi lumbal. Bila ditemukan zat warna dalam pungsi ini, maka berarti ada hubungan antara ventrikel dan ruangan subarachnoid.
5. Pseudohydrocephalus dan hydrocephalus tekanan normal (normal pressure hydrocephalus). Pseudohydrocephalus adalah disproporsi kepala dan badan bayi. Kepala bayi tumbuh cepat pada bulan kedua sampai bulan kedelapan. Sesudah itu disproporsi nya berkurang dan kemudian menghilang sebelum berunur 3 tahun. Hydrocephalus tekanan normal ditandai oleh pelebararan ventrikulus otak tetapi tekanan CSS dalam batas normal.
D. Etiologi Dan Faktor Resiko
Adapun sebab dan faktor resikonya, hydrocephalus terjadi sebagai akibat obstruksi, ganbgguan absosrbsi dan kelebihan CSS. Tempat predikelsi obstruksi adalah foramen Monroe, feramen sylvi, foramen luschka, foramen magendie, sinus dural dan vili arachnoid.
Obstruksi CSS disebabkan oleh faktor-faktor intraventrikuler, ekstraventrikuler dan kelainan congenital. Faktor intraventrikuler meliputi stenosis herediter, stenosis gliotik, stenosis akibat perdarahan intraventrikuler, ventrikulitis, oklusi fakomatosis, papiloma pleksus koroid atau neoplasama lain. Obstruksi ini akan menimbulkan hydrocephalus non-komunikans.
Faktor ekstraventrikuler meliputi stenosis traksi atau stenosis kompresiakibat tumor dekat ventrikulus III, tumor di fosa posterior atau tumor serebelum. Faktor-faktor tersebut akan menyebabkan hydrocephalus komunikans maupun non-komunikans.
Kelainan congenital meliputi malformasi Arnold-Chiari, sindrom Dandy-Walker, disgenesis otak, anensefali dan kelainan genetic lainnya yang disertai spina bifida.
Gangguan absosrbsi CSS dapat terjadi sebagai akibat dari :
1. Gangguan vaskuler misalnya trombosis sinus sagitalis superior, maalformasi vena galen, ekstasis dari arteri basilaris, malformasi arterio-venosa dan aneurisma.
2. Peningkatan protein CSS pada sindrom Guillain-Barre.
3. Otitis media purulenta dan mastoiditis yang menimbulkan hydrocephalus otik.
4. Tetrasiklin, estrogen, fenotiazin dan vitamin A, serta penghentian terapi corticosteroid yang telah berlangsung lama, kelaianan metabolic misalnya defisiensi vitamin B12 dapat pula menimbulkan hydrocephalus, meskipun mekanismenya belum jelas benar, apakah berupa gangguan absorbsi atau justru kelebihan produksi CSS.
5. Gagal Jantung, hipoparatiroidi, dan mixedema.
Kelebihan produksi CSS dapat terjadi pada meningitis dan ensefalitis piogenik, tuberculosis, toksoplasmosis, pseudomonas atau adanya kista parasit dan lues congenital.

E. Patofisiologi Terhadap Penyimpangan KDM


F. Patogenesis
Patogenesis hydrocephalus dapat dibagi menjadi 2 bentuk, ialah sebagai berikut :
1. Bentuk hydrocephalus akut, didasari oleh faktor mekanik. Perdarahan otak, tumor/ifeksi/abses otak, obliterasi akuaduktus otak, hematoma ekstradural dan edema otak akut akan mengganggu aliran dan absorbsi CSS sehingga terjadi peningkatan TIK. Akibat peningkatan tekanan intraventrikular, sehingga kornu anterior lateral melebar. Kemudian diikuti oleh pelebaran seluruh ventrikulus lateral. Dalam waktu singkat diikuti penipisan lapisan ependim ventrikulus. Hal ini akan menyebabkan permiabilitas ventrikulus meningkat sehingga memungkinkan absorbsi CSS dan akan menimbulkan edema substansia alba didekatnya.pabila kekuatan absosrbsi dapat mengimbangi produksinya yang berlebihan maka tekanannya secara bertahap akan menurun sampai normal, meskipun penderita memperlihatkan gejala-gejala hydrocephalus. Keadaan demikian ini disebut hydrocephalus tekanan normal. Namun biasanya peningkatan absosrbsi ini gagal mengimbangi kapasitas produksinya, sehingga terjadi pelebaran ventrikulus berkelanjutan dengan tekana yang juga tetap meningkat atau terjadi hydrocephalus tekanan tinggi.
2. Hydrocephalus kronik terjadi beberap minggu setelah aliran CSS mengalami sumbatan atau mengalami gangguan absosrbsi. Apabila sumbatan dapat dikendalikan atau dihilangkan, tekanan intraventrikular menjadi progresif normotensif karena adanya resorbsi transependimal vasa darah parenkim periventrikular. Akibat dari peningkatan tekanan CSS adalah sistem venosa dan penurunan volume aliran darah, sehingga terjadi hipoksia dan perubahan metabolisme parenkim (kehilangan lipid dan protein). Akibat lebih jauh adalah: terjadinya dilatasi ventrikulus karena jaringan periventrikulus menjadi atrofi. Jadi yang semula dasar patogenesisnya mekanik berubah menjadi biokimiawi dan metabolik.

G. Manifestasi Klinis
1. Secara umum
Gambaran klinis pada permulaan adalah pembesaran tengkorak yang disusul oleh gangguan neurologik akibat tekanan likuor yang meningkat yang menyebabkan hipotrofi otak. Pada bayi yang suturanya masih terbuka akan terlihat lingkar kepala fronto-osipital yang makin membesar, sutura yang makin membesar dengan fontanel cembung dan tegang. Vena kulit kepala sering terlihat menonjol. Kelainan neurologik berupa mata yang selalu mengarah kebawah (fenomena matahari terbenam), gangguan perkembangan motorik dan gabngguan pengelihatan akibat atrofi atau hipertropi saraf pengelihatan. Bila proses penimbunan cairan serebrospinal dibiarkan berlansung pada bayi akan terjadi penipisan korteks yang permanent walupun kemudian hydrocephalusnya dapat diatasi.
2. Secara Khusus Menurut Umur.
Gambaran klinik hydrocephalus dipengaruhi oleh umur penderita, penyebab dan lokasi obstruksi. Gejala-gejala yang menonjol merupakan refleksi hgipertensi intracranial. Rincian gambaran klinik adalah sebagai berikut :
Neonatus :
Gejala hydrocephalus yang paling umum dijumpai pada neonatus adalah iritabilitas, sering kali anak tidak mau makan dan minum : kadang-kadang kesadaran menurun kea rah letargi. Anak kadang-kadang muntah, jarang yang bersifat proyektil. Pada masa neonatus ini gejala-gejala lainnya belum nampak, sehingga apabila dijumpai gejala-gejala tersebut diatas, perlu dicurigai kemungkinan adanya hydrocephalus. Dengan demikian dapat dilakukan pemantuan secara teratur dan sistematik.
Anak berumur kurang dari 6 bulan :
Pada umumnya anak mengeluh nyeri kepala, sebagai suatu manifestasi hipertensi intracranial. Lokasi nyeri kepala tidak khas atau tidak menentu. Kadang-kadang anak muntah di pagi hari. Dapat disertai keluhan pengelihatan ganda (diplopia) dan jarang diikuti penurunan visus.
Gangguan motorik dan koordinasi dikenali melalui perubahancara berjalan. Hal demikian ini disebabkan oleh peregangan serabut kortikospinal korteks parietal sebagai akibat pelebaran ventrikulus lateral. Serabut-serabut yang lebih medial yang melayani tungkai akan terlebih dahulu tertekan, sehingga menimbulkan pola berjalan yang khas.
Anak dapat mengalami gangguan dalam hal daya ingat dan proses belajar, terutama dalam tahun pertama sekolah. Apabila dilakukan pemeriksaan psikometrik maka akan terlihat adanya labilitas emosional dan kesulitan dalam hal konseptualisasi.
Pada anak dibawah 6 tahun, termasuk neonatus akan tampak pembesaran kepala karena sutura belum menutup secara sempurna. Pembesaran kepala ini harus dipantau dari waktu ke waktu, dengan mengukur lingkar kepala. Perlu diingat bahwa kepala yang besar (makrosefal) belum tentu disebabkan oleh hydrocephalus; kraniosinostosis dapat menimbulkan makrosefal.
Fontanela anterior tampak menonjol, pada palpasi terasa tegang dan padat. Pemeriksaan fontanela ini harus dalam keadaan yang santai, tenang dan penderita dalam posisi berdiri atau duduk tegak. Tidak ditemukannya fontanela yang menonjol bukan berarti bahwa tidak ada hydrocephalus. Pada umur 1 tahun, fontanela anterior sudah menutup; atau oleh karena rongga tengkorak yang melebar maka tekanan intracranial secara relative akan mengalami dekompresi..
Perkusi pada anak memberi sensasi yang khas. Pada hydrocephalus akan terdengar suara yang sangat mirip dengan suara ketukan pada semangka masak. Pada anak yang lebih tua akan terdengar suara kendi retak (cracked-pot). Hal demikian ini menggambarakan adanya pelebaran sutura.
Vena-vena di kulit kepala dapat terlihat sangat menonjol, terutama apabila si bayi menangis. Peningkatan tekanan intracranial akan mendesak darah vena dari alur normal di basis otak menuju ke kolateral dan saluran-saluran yang tidak mempunyai klep.
Mata penderita hydrocephalus memperlihatkan gambaran yang khas, yang disebut sebagai setting-sun sign.Sklera yang berwarna putih akan tampak di atas iris. Paralisis nervus abdusens yang sebenarnya tidak menunjukan lokasi lesi, sering dijumpai pada anak yang berumur lebih tua dan pada dewasa.
Kadang-kadang terlihat adanya nistagmus dan strabismus. Pada hydrocephalus yang sudah lanjut dapat terjadi edema papil atau atrofi papil. Tidak adanya pulsasi vena retina merupakan tanda awal hipertensi intracranial yang khas.
Dewasa :
Gejala yang paling sering dijumpai adalah nyeri kepala. Sementara itu gangguan visus, gangguan morik berjalan, dan kejang terjadi pada 1/3 kasus hyderocephalus pada usia dewasa. Pemeriksaan neurologist pada umunya tidak menunjukan kelainan, kecuali adanya edema papil dan / atau paralisis nervus abdusens
H. .Diagnosis Banding Pembesaran kepala dapat terjadi hydrocephalus, makrosefal, tumor otak, abses otak, granuloma intracranial, dan hematoma subdural. Hal-hal tersebut terutama dijumpai pada bayi dan anak-anak kurang dari 6 tahun.
I. Diagnostik Test
a. Diagnosis Fisis
Pengukuran lingkar kepala fronto-oksipital yang teratur pada bayi merupakan terpenting untuk menentukan diagosis dini. Pertumbuhan kepala normal cepat terjadi pada tiga bulan pertama. Lingkar kepala akan bertambah ± 2 cm setiap bulan. Pada tiga bulan berikutnya penambahan akan berlangsung lebih lambat.
Ukuran rata-rata lingkar kepala :
Lahir Tinggi/Panjang
: 35 cm
Umur 3 bulan : 41 cm
Umur 9 bulan : 46 cm
Umur 12 bulan : 47 cm
Umur 18 bulan : 48,5 cm

b. Foto Rontgen
Foto roentgen kepala polos lateral tampak kepala yang membesar dengan disproporsi kraniofasial, tulang yang menipis dan sutura yang melebar.
c. CT Scan
terlihat dilatasi seluruh sistem ventrikel otak.
d. USG
Ini dapat dilakukan melalui yang tetap terbuka lebar, sehingga dapat ditentukan adanya pelebaran ventrikel, atau perdarahan dalam ventrikel.
J. Penatalaksanaan
a. Pencegahan
Untuk mencegah timbulnya kelainan genetic perlu dilakukan penyuluhan genetic, penerangan keluarga berencana serta menghindari perkawinan antar keluarga dekat. Proses persalinan/kelahirandiusahakan dalam batas-batas fisiologik untuk menghindari trauma kepala bayi. Tindakan pembedahan Caesar suatu saat lebih dipilih dari pada menanggung resiko cedera kepala bayi sewaktu lahir.
b.Terapi Medikamentosa
Hydrocephalus dewngan progresivitas rendah dan tanpa obstruksi pada umumnya tidak memerlukan tindakan operasi. Dapat diberi asetazolamid dengan dosis 25 – 50 mg/kg BB. Pada keadaan akut dapat diberikan menitol. Diuretika dan kortikosteroid dapat diberikan meskipun hasilnya kurang memuaskan. Pembarian diamox atau furocemide juga dapat diberikan. Tanpa pengobatan “pada kasus didapat” dapat sembuh spontan ± 40 – 50 % kasus.
c. Pembedahan :
Tujuannya untuk memperbaiki tempat produksi LCS dengan tempat absorbsi. Misalnya Cysternostomy pada stenosis aquadustus. Dengan pembedahan juga dapat mengeluarkan LCS kedalam rongga cranial yang disebut :
a. Ventrikulo Peritorial Shunt
b. Ventrikulo Adrial Shunt
Untuk pemasangan shunt yang penting adalajh memberikan pengertian pada keluarga mengenai penyakit dan alat-alat yang harus disiapkan (misalnya : kateter “shunt” obat-obatan darah) yang biasanya membutuhkan biaya besar.
Pemasangan pintasan dilakukan untuk mengalirkan cairan serebrospinal dari ventrikel otak ke atrium kanan atau ke rongga peritoneum yaitu pi8ntasan ventrikuloatrial atau ventrikuloperitonial.
Pintasan terbuat dari bahan bahansilikon khusus, yang tidak menimbulkan raksi radang atau penolakan, sehingga dapat ditinggalkan di dalam yubuh untuk selamanya. Penyulit terjadi pada 40-50%, terutama berupa infeksi, obstruksi, atau dislokasi.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

ASKEP PADA ANAK DENGAN KELAINAN HEMATOLOGI (ANEMIA) By Udin

ASKEP PADA ANAK
DENGAN KELAINAN HEMATOLOGI (ANEMIA)

A.Anemia
Anemia merupakan istilah umum untuk menguraikan penyakit yang berkaitan dengan suatu penurunan kadar hemoglobin kadar sirkulasi. Anemia dapat timbul sebagai akibat kehilangan darah, kerusakan eritrosit yang berlebihan, kekurangan sat besi yang disebutkan sebagai beberapa sebab utama saja
a.Anemia aplastik
Definisi :
Anemia aplastik dapat didefinisikan sebagai suatu kegagalan anatomi dan fisiologi dari sumsum tulang yang mengarah pada suatu penurunan nyata atau tidak adanya unsur pembentuk darah dalam sumsum tulang.
Etiologi :
1.Faktor Kongenital
Sindrom fankoni yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti microsepali, strabismus, anomali jari, kelainan ginjal dan sebagainya
2.Faktor didapat
Bahan kimia : Benzena, insektisida, senyawa As, Au, Pb
Obat : Cloramfenikol, Mesantoin (anti konvulsan), piribenzamin (anti histamin), santonin/kalomel, obat sitostatika (mileran, metrotrexate, TEM, Vincristine, rubidomycine, dsb)
Radiasi : Sinar rontgen, radio aktif.
Faktor individu : Alergi terhadap obat, bahan kimia dll
Infeksi : Tuberculosis milier, hepatitis dab
Lain – lain : Keganasan, penyakit ginjal, gangguan endokrin.
Idiopatik : Merupakan penyebab yang paling sering.

Patofisiologi :
Anemia aplastik adalah gangguan akibat kegagalan sumsum tulang yang menyebabkan penipisan semua unsur sumsum. Produksi sel-sel darah menurun atau terhenti. Timbul pansitopenia dan hiposelularitas sumsum. Manifestasi gejala tergantung beratnya trombositopenia (gejala pendarahan), neutropenia (infeksi bakteri, demam) dan anemia (pucat, lelah, gagal jantung kongestif, tachi kardia). Prognosisnya gawat. 50 % pasien meninggal dalam 6 bulan setelah diagnosis. Prognosis pasien dengan lebih dari 70 % sel-sel nonhematopoetik adalah buruk.
Insidens :
1. Anemia aplastik dapat timbul pada senbarang usia
2. 50 % kasus bersifat idiopatik
3. Angka hidup jangka panjang dengan pencangkokan sumsum tulang dari dnor kompatibel secara histologik mencapai 70 – 90 % pada anak – anak
4. Angka kejadian anemia aplastik yang didapat adalah 1 dalam 1 jut, perbandingan penderita laki – laki perempuan adalah 1 : 1, dan dapat terjadi pada sembarang usia
5. Pada 75 % anak dengan anemia Fanconi, dignosisnya ditegakkan antara umur 3 dan 14 tahun : rasio laki – laki – perempuan dari anemia Fanconi adalah 1,3 : 1
Manifestasi klinis :
1.Petekia, echimosis, epistaksis (muncul lebih dulu)
2.Ulserasi oral, infeksi bakteri, demam (muncul kemudian)
3.Anemia, pucat, lelah, takhicardia (tanda lanjut)
4.Bercak CafĂ©-au-lait, hiperpigmentasi mirip – melanin, tanpa ibu jari (anemia Fanconi
Komplikasi :
1.Sepsis
2.Sensitisasi terhadap antigen donor yang bereaksi silang menyebabkan pendarahan yang tidak terkendali.
3. Cangkokan vs penyakit hospes ( timbul setelah pencangkokan sumsum tilang )
4. Kegagalan cangkok sumsum (terjadi setelah tramplantasi sumsum tulang)
5. Leukemia miologen akut-berhubungan dengananemia fanconi
Uji laboratoriun dan diagnostik :
1. Hitung darah lengkap disertai diferensial – anemia makrositik, penurunan granulosit, monosit dan limfosit
2. Jumlah trombosit – menurun
3. Jumlah retikulosit – menurun
4. Aspirasi & biopsi sumsum tulang – hiposelular
5. Elektroforesis hemoglobin – kadar hemoglobin janin meningkat
6. Titer antigen sel darah merah – naik
7. Uji gula air – positif
8. Uji Ham – positif
9. Kadar folat dan B12 serum – normal atau meningkat
10. Uji kerusakan kromosom – positif untuk anemia Fanconi
Penatalaksanaan Medis :
Pilihan utama pengobatan anemia aplastik adalah tranplantasi sumsum tulang dengan donor saudara kandung, yang antigen limfosit manusianya (HLA) sesuai. Imunoterapi dengan globulin anti timosit (ATG) atau globulin anti limfosit (ALG) adalah terapi primer bagi anak yang bukan calon untuk transplantasi sumsum tulang. Terapi penunjang mencakup pemakaian antibiotik dan pemberian produk darah. Antibiotika dipakai untuk mengatasi demam dan neutropenia, antibiotika profilaktif tidak diindikasikan untuk anak yang asimptomatik. Produk darah yang dapat diberikan adalah sbb :
1. Trombosit – untuk mempertahankan jumlah trombosit diatas 20.000/mm3. Pakai feresis trombosit donor tunggal untuk menurunkan jumlah antigen limfosit manusia yang terpajan pada anak itu.
2. Packed red blood cells – untuk mempertahankan kadar hemoglobin diatas g/dl (anemia kronik sering ditoleransi dengan baik) untuk terapi jangka panjang pakai deferoksamin sebagai agens pengikat ion logam untuk mencegah komplikasi kelebihan besi
3. Granulosit – ditransfusi ke pasien yang menderita sepsis gram negatif
Pengkajian Keperawatan :
1. Mengkaji tempat-tempat perdarahan dan gejala perdarahan
2. Mengkaji tingkat aktivitas
3. Mengkaji tingkat perkembangan
Diagnosa Keperawatan :
1. Risiko tinggi cedera
2. Risiko tinggi infeksi
3. Intoleransi aktivitas
4. Kelelahan
5. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan
Intervensi Keperawatan :
1. Identifikasi dan laporkan tanda dan gejala perdarahan
 Tanda-tanda vital (denyut apex meningkat, nadi lemah dan cepat, TD menurun)
 Tempat perdarahan
 Warna kulit (pucat) dan tanda-tanda diaforesis
 Kelemahan
 Penurunan tingkat kesadaran
 Penurunan jumlah trombosit
2. Lindungi dari trauma
 Jangan beri aspirin atau obat-obat NSAID
 Hindari suntikan IM dan suppositoria
 Beri obat kontrasepsi untuk mengurangi menstruasi berlebihan
 Usahakan higiene mulut yang baik dengan sikat gigi lunak
3. Lindungi dari Infeksi
 Hindari kontak dengan sumber infeksi potensial
 Usahakan isolasi ketat (rujuk kebijakan dan prosedur RS)
4. Beri produk darah dan pantau respon anak terhadap infus (setelah transplantasi sumsum tulang untuk menghindari sensitisasi terhadap antigen transplantasi donor)
 Observasi adanya efek samping atau respons yang merugikan
 Observasi tanda-tanda kelebihan cairan
 Pantau tanda-tanda vital sebelum pemasangan infus, pantau selama 15 menit selama jam pertama dan kemudian setiap jam setiap infus terpasang
5. Berikan periode istirahat yang lebih sering. Berikan asuhan keperawatan untuk meningkatkan toleransi aktivitas dan mencegah kelelahan
6. Pantau respons terapeutik dan respon yang merugikan terhadap pengobatan, pantau kerja dan efek samping obat
7. Siapkan anak dan keluarga untuk transplantasi sumsum tulang
8. pantau tanda-tanda komlikasi trasplantasi sumsum tulang
9. Berikan aktivitas pengalih dan rekreasi sesuai usia
10. Berikan penjelasan sesuai usia sebelum pelaksanaan prosedur
Hasil yang diharapkan :
1. Anak berangsur-angsur mengalami peningkatan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan akhirnya trombosit
2. Infeksi yang terjadi pada anak semakin sedikit
3. Episode perdarahan pada anak minimal
4. Anak dan keluarga memahami perlunya perawatan di rumah dan perawatan tindak lanjut.
b. Anemia Defisiensi Zat Besi
Definisi :
Merupakan anemia yang paling umum, zat besi merupakan unsur yang diperlukan dalam pembentukan hemoglobin, karena itu defisiensi zat besi akan mempengaruhi jumlah hemoglobin yang dapat diperoleh.
Etiologi :
Menurut patogenesisnya anemia defisiensi besi dibagi menjadi :
1. Masukan kurang : MEP, defisiensi diet relatif yang disertai pertumbuhan yang cepat
2. Absorbsi kurang : MEP, diare kronik, sindrom malabsorbsi lainnya
3. Sintesis kurang : tranferin kurang (hipotransferinemia kongenital)
4. Kebutuhan yang bertambah : infeksi, pertumbuhan yang cepat
5. Pengeluaran yang bertambah karena anchylostomiasis, amubiasis yang menahun, polip, hemolisis intravaskular kronis yang menyebabkan hemosiderinemia.
Patofisiologi :
Anemia defisiensi zat besi paling sering terjadi karena pengenalan makanan padat yang terlalu dini (sebelum usia 4-6 bulan) dihentikannya susu formula bayi yang mengandung zat besi atau ASI sebelum usia 1 tahun, dan minum susu sapi berlebihan tanpa tambahan makanan padat kaya besi. Bayi yang tidak cukup bulan, bayi dengan perdarahan perinatal yang berlebihan, atau bayi dari ibu yang kurang gizi dan kurang zat besi, juga tidak memiliki cadangan zat besi yang adekuat. Bayi ini berisiko lebih tinggi mengalami anemia defisiensi zat besi sebelum berusia 6 bulan. Anemia defisiensi zat besi dapat juga terjadi karena kehilangan darah yang kronik. Pada bayi, hal ini terjadi karena perdarahan usus kronik yang disebabkan oleh protein dalam susu sapi yang tidak tahan panas. Pada anak sembarang umur kehilangan darah sebanyak 1 – 7 ml dari saluran cerna setiap hari dapat menyebabkan anemia defisiensi zat besi. Pada remaja putri, anemia defisiensi zat besi juga dapat terjadi karena menstruasi yang berlebihan.
Insidens :
1. 3% - 24% bayi berusia 6 - 24 bulan menderita anemia defisiensi zat besi
2. 29% - 68% bayi berusia 6 – 24 bulan mengalami defisiensi zat besi
3. Insidensi defisiensi zat besi dan anemia defisiensi zat besi pada remaja putri adalah 11% - 17%
4. Puncak insidens anemia defisiensi zat besi adalah antara 12 – 18 bulan
Manifestasi Klinik :
1. Konjunctiva pucat (hemoglobin 6 – 10 g/dl)
2. Telapak tangan pucat (Hb dibawah 8 g/dl)
3. Iritabilitas dan anorexia (Hb 5 g/dl atau lebih rendah)
4. Takikardi, murmur sistolik
5. Pika
6. Lethargi, kebutuhan tidur meningkat
7. Kehilangan minat terhadap mainan atau aktivitas bermain
Komplikasi :
1. Perkembangan otak buruk
2. daya konsentrasi menurun
3. Hasil uji perkembangan menurun
4. Kemampuan mengolah informasi yang didengar menurun
Uji laboratorium dan Diagnostik :
1. Kadar porfirin eritrosit bebas – meningkat
2. Konsentrasi besi serum – menurun
3. Saturasi transferin – menurun
4. Konsentrasi feritin serum – menurun
5. Hemoglobin – menurun
6. Rasio hemoglobin – porfirin eritrosit – lebih dari 2,8 g/g adalah diagnostik untuk defisiensi besi.
7. Mean Corpuscle Volume (MCV) dan Mean Corpuscle Hemoglobin Concentration (MCHC) – menurun, menyebabkan anemia hipokrom mikrositik atau sel-sel darah merah yang kecil-kecil dan pucat
8. Selama pengobatan, jumlah retikulosit – meningkat dalam 3 –5 hari sesudah dimulainya terapi besi mengindikasikan respon terapeutik yang positif
9. Dengan pengobatan, hemoglobin – kembali normal dalam 4 – 8 minggu mengindikasikan tambahan besi dan nutrisi yang adekuat
Penatalaksanaan Medis :
Usaha pencegahan ditujukan pada pengobatan dan intervensi. Pencegahan tersebut mencakup menganjurkan ibu untuk memberikan ASI, makan makanan kaya zat besi dan, minum vitamin pranatal yang mengandung besi. Terapi untuk mengatasi anemia zat besi terdiri dari program pengobatan berikut : Zat besi diberikan per oral (PO) dalam dosis 2 – 3 mg per kg unsur besi. Semua bentuk zat besi sama efektifnya (ferosulfat, ferofumarat, ferosuksinat, feroglukonat). Vitamin C harus diberikan bersama zat besi (vitamin C meningkatkan absorbsi besi). Zat besi paling baik diserap bila iminum 1 jam sebelum makan. Terapi besi hendaknya diberikan sekurang-kurangnya selama 6 minggu setelah anemia dikoreksi untuk mengisi kembali cadangan besi. Zat besi yang disuntikkan jarang dipakai kecuali terdapat penyakit malabsorbsi usus halus.
Pengkajian Keperawatan :
1. Kaji reaksi anak terhadap terapi besi
2. Kaji tingkat aktivitas anak
3. Kaji tingkat perkembangan anak
Diagnosa Keperawatan :
1. Intolerans aktivitas
2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
3. Keletihan
4. Risiko tinggi perubahan pertumbuhan dan perkembangan

Intervensi Keperawatan :
1. Pantau efek terapeutik dan efek yang tidak diinginkan terhadap terapi zat besi pada anak
 Efek samping dari terapi oral (perubahan warna gigi) jarang terjadi
 Ajarkan tentang cara-cara mencegah perubahan warna gigi
- minum preparat besi dengan air, sebaiknya dengan jus jeruk
- berkumur setelah minum obat
 Anjurkan untuk meningkatkan makanan berserat dan air untuk mengurangi konstipasi dari zat besi
 Untuk mengatasi konstipasi berat akibat zat besi, cobalah untuk menurunkan dosis zat besi, tetapi memperpanjang lama pengobatan.
2. Ajarkan pada orangtua tentang asupan nutrisi yang adekuat
 Kurangi asupan susu pada anak
 Tingkatkan asupan daging dan pengganti protein yang sesuai
 Tambahkan padi-padian utuh dan sayur-sayuran hijau dalam diet
3. Dapatkan informasi tentang riwayat diet dan prilaku makan
 Kaji faktor-faktor yang menyebabkan defisiensi besi nutrisi psikososial, prilaku, dan nutrisional
 Buat rencana bersama orangtua tentang pendekatan-pendekatan kebiasaan makan yang dapat diterima
 Rujuk ke ahli gizi untuk evaluasi dan terapi intensif
4. Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya, karena zat besi dari ASI mudah untuk diserap
Hasil yang diharapkan :
1. Warna kulit anak membaik
2. Pola tumbuh anak membaik
3. Tingkat aktivitas anak sesuai dengan usianya
4. Orangtua menunjukkan pemahamannya terhadap aturan pengobatan di rumah (pemberian obat, makanan kaya zat besi yang sesuai)
c. Anemia Sel Sabit
Definisi :
Anemia sel sabit adalah anemia dimana kondisi eritrosit mengandung bentuk hemoglobin yang abnormal (HbS) dengan rantai beta yang abnormal. Sebagai akibatnya mereka mengambil bentuk aneh (bersabit) jika tekanan oksigen menurun..
Etiologi :
Kelainan bawaan (kongenital) atau merupakan faktor yang didapat (acquired). Patofisiologi :
Defek dasar pada penyakit ini adalah adalah gen autosom yang mutan yang mempengaruhi penggantian valin dengan asam glutamat pada rantai hemoglobin. Sel darah merah pada pada anemia ini berbentuk sabit dan memiliki kemampuan yang kurang dalam hal membawa oksigen. Sel ini juga memiliki angka destruksi yang lebih besar dari sel darah normal. Jangka hidupnya menurun hingga 16 sampai 20 hari. Sel sabit sangat kaku, karena hemoglobinnya berbentuk gel, dehidrasi seluler, dan membrannya yang tidak fleksibel. Sel-sel ini menyebabkan terperangkap dalam sirkulasi dan membentuk lingkaran setan infark dan sickling yang progresif. Terdapat 3 jenis krisis : (1) oklusi pembuluh darah (sangat nyeri); (2) sekuestrasi limpa; dan (3) aplastik. Krisis sel sabit menurun frekuensinya sejalan dengan bertambahnya usia. Mortalitas pada tahun-tahun pertama umumnya disebabkan oleh infeksi dan krisis sekuestrasi.
Insidens :
1. Insidens penyakit sel sabit pada individu kulit hitam diperkirakan 1 dari 400
2. Sifat sel sabit terdapat pada satu dari setiap 10 orang Amerika berkulit hitam
3. 25% kematian terjadi sebelum berusia 5 tahun
4. Dengan pengobatan baru, 85% orang dengan gangguan ini dapat hidup sampai usia 20 tahun; 60%, diatas 50 tahun.`

Manifestasi Klinis :
1. Krisis oklusi pembuluh darah (krisis nyeri), terjadi akibat iskemia pada jaringan distal dari oklusi
 Iritabilitas
 Muntah
 Demam
 Anorexia
 Nyeri sendi
 Daktilitis (sindrom kaki dan tangan) – rentang gerak berkurang dan ekstremitas meradang
 Ulkus kaki
 Stroke
 Perdarahan okuler
 Retinopati proliferatif
 Sindrom dada akut
2. Krisis sekuestrasi (umumnya terlihat pada anak-anak yang berusia kurang dari 5 tahun), akibat seringnya terjadi infark dari sel-sel sabit (diikuti atrofi limpa)
 Pembesaran limpa yang cepat dan masif (splenomegali)
 Penurunan kadar hemoglobin yang cepat
 Pembesaran hati
 Kolaps sirkulasi dan syok
 Takikardia, dispnea, pucat dan kelemahan (umum)
3. Krisis aplastik, terjadi akibat destruksi yang cepat terhadap sel darah merah, terutama selama infeksi saat mekanisme kompensasinya mengalami depresi
 Kelemahan
 Membran mukosa pucat
 Ikterus pada sklera
 Anorexia
 Kerentanan terhadap infeksi meningkat
 Takikardia
 Jumlah retikulosit menurun
Komplikasi :
1. Kurang tidur
2. Pubertas tertunda
3. Fertilitas terganggu
4. Priapismus
5. Batu empedu
6. Ulkus tungkai
7. Penyakit jantung, hati dan ginjal menahun
8. Osteomielitis
9. Depresi, isolasi, dan rendah diri
10. Enuresis
11. Risiko tinggi ketergantungan obat
12. Hubungan anak – orangtua tegang
13. Stroke
Uji Laboratorium dan Diagnostik :
1. Elektroforesis hemoglobin, sebaiknya dilakukan pada saat lahir terhadap semua bayi sebagai bagian dari skrinning bayi baru lahir. Uji ini dapat menghitung persentase hemoglobin S yang ada
2. Darah atau sel fetus – uji ini memungkinkan penetapan diagnosis prenatal antara kehamilan minggu ke 9 dan 11
Penatalaksanaan Medis :
Meskipun sampai saat ini belum ditemukan obat untuk anemia sel sabit, tetapi penatalaksanaan medis yang dilakukan dapat mengurangi terjadinya krisis. Pemberian penicillin profilaktik untuk mencegah septikemia hendaknya dilakukan pada periode baru lahir. Imunisasi tambahan yang diperlukan adalah (1) vaksin pneumokokus saat berusia 2 tahun, dengan booster saat anak berusia 4 sampai 5 tahun dan (2) vaksin influensa
Program hipertransfusi bagia anak dengan riwayat stroke, penyakit paru progresif dan mungkin juga krisis vasooklusif berat (kontroversial), adalah pengobatan yang kini diberikan. Kelebihan besi menyebabkan besi tersebut mengendap pada organ-organ dengan komlikasi sebagai berikut : kardiomiopati, sirosis, diabetes tergantung insulin, hipotiroidisme, hipoparatiroidisme, pertumbuhan yang tertunda, dan perkembangan seks yang juga tertunda. Deferoksamin (Desferal) yang diberikan melalui subkutan atau transfusi, mengkelasi besi sehingga dapat dikeluarkan bersama urin atau empedu untuk membantu mengurangi komplikasi tersebut.
Analgesik dipakai untuk mengendalikan nyeri selama masa krisis. Antibiotik dapat dipakai, karena infeksi dapat memicu terjadinya krisis.
Pengkajian Keperawatan :
1. Kaji sistem kardiovaskulernya (nadi, thorax, tampilan umum, kulit dan edema)
2. Kaji sistem respirasinya ( bernapas, hasil auskultasi thorax, bentuk dan lingkar dada, tampiln umum)
3. Kaji tingkat nyeri anak
Diagnosa Keperawatan :
1. Perubahan perfusi jaringan : ginjal, serebrum, dan perifer
2. Nyeri
3. Risiko tinggi keletihan
4. Risiko tinggi infeksi
5. Risiko tinggi kelebihan volume cairan
6. Risiko tinggi cedera
7. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan
8. Risiko tinggi koping keluarga tidak efektif : menurun
9. Risiko tinggi koping individu tidak efektif : menurun
10. Risiko tinggi penatalaksanaan program terapeutik tidak efektif
Intervensi Keperawatan :
1. Cegah atau minimalkan efek dari krisis sel sabit :
 Sadari bahwa pengkajian dan penanganan dini adalah kunci pencegahan dan intervensi episode krisis
 Hindari dingin dan vasokonstriksi selama episode nyeri, dingin dapat meningkatkan sickling
 Berikan dan tingkatkan hidrasi (satu setengah sampai 2 kali didrasi rumatan)
(1) pertahankan dengan ketat asupan dan keluaran
(2) kaji adanya tanda-tanda dehidrasi
 tingkatkan oksigenasi jaringan : pantau adanya tanda-tanda hipoksia – sianosis; hiperventilasi; peningkatan denyut apeks; frekuensi napas dan tekanan darah; dan konfusi mental
2. Berikan periode istirahat yang sering untuk mengurangi pemakaian oksigen
3. Pantau penggunaan alat oksigen
4. Berikan dan pantau penggunaan produk darah dan terapi kelasi; kaji tanda-tanda reaksi transfusi demam, gelisah, disritmia jantung, menggigil, mual dan muntah, nyeri dada, urin merah atau hitam, sakit kepala, nyeri pinggang, dan tanda-tanda syok atau gagal ginjal
5. Pantau adanya tanda-tanda kelebihan cairan sirkulasi (overload)-dispnea, naiknya frekuensi pernapasan, sianosis, nyeri dada, dan batuk kering
6. Hilangkan atau minimalkan nyeri :
 Panas lembab untuk 24 jam pertama
 Whirpool atau walking tank, terutama jika terjadi pembengkakan
 Latihan terapeutik
 Pemberian anlgesik sesuai instruksi, berdasarkan pengkajian nyeri
 Penggunaan metoda nonfarmakologik seperti imajinasi terbimbing

7. Cegah infeksi
 Kaji adanya tanda-tanda infeksi – demam, malaise atau iritabilitas, serta jaringan lunak dan limfonodus yang meradang dan bengkak
 Sadari bahwa anak terutama rentan terhadap sepsis pneumokokus dan pneumonia (anak kurang dari 3 sampai 4 tahun) dan osteomielitis salmonela
8. Pantau adanya tanda-tanda komplikasi :
 Kolaps vaskuler dan syok
 Splenomegali
 Infark tulang dan persendian
 Ulkus tungkai
 Stroke
 Kebutaan
 Nyeri dada atau dispnea
 Pertumbuhan dan perkembangan yang tertunda
9. Beri penjelasan pada anak sesuai usia tentang perawatan di rumah sakit dan prosedur/tindakan
10. Beri dukungan emosional pada anak dan keluarga :
 Dorong agar anak melakukan aktivitas normal
 Dorong anak agar bekerjasama dengan anak-anak dan keluarga lain yang juga menderita anemia sel sabit
11. Anjurkan orang tua untuk melakukan skrining anggota keluarganya
 Skrining bayi baru lahir untuk hemoglobinopati
(1) identifikasi saat lahir memungkinan profilaksis dini terhadap infeksi
(2) pemakaian penicilin profilaktik dianjurkan untuk dimulai pada periode bayi baru lahir (berusia 4 bulan)
 Skrining saudara kandung terhadap penyakit dan pembawa sifat sel sabit
Hasil Yang Diharapkan :
1. Anak dan keluarga memahami pentingnya pemeriksaan tindak lanjut dan kapan harus meminta bantuan medis
2. Krisis oklusi pembuluh, sekuestrasi dan aplastik yang dialami anak minimal
3. Keluarga mencari konseling genetik bagi anak lainnya

B. Leukemia
Definisi :
Leukimia dalah proliferasi sel darah putih yang masih immatur dalam jaringan pembentuk darah
Etiologi :
Penyebab yang pasti belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya leukemia, yaitu :
 Faktor genetik : virus tertentu menyebabkan terjadinya perubahan struktur gen (T cell leukemia – lymphoma virus / HTLV)
 Radiasi
 Obat-obat imunosupresif, obat-obat karsinogenik sperti diethylstilbestrol
 Faktor herediter, misalnya pada kembar monozigot
 Kelainan kromosom, misalnya pada Down Syndrome
Patofisologi :
Leukemia diduga mulai sebagai suatu proliferasi lokal dari sel neoplastik, timbul dalam sumsum tulang dan limfe noduli (dimana limfosit terutama dibentuk) atau dalam lien, hepar dan tymus. Sel neoplastik ini kemudian disebarkan melalui aliran darah untuk kemudian tersangkut dalam jaringan pembentuk darah dimana mereka melanjutkan aktivitas proliferatif, menginfiltrasi banyak jaringan tubuh, misalnya tulang dan ginjal. Gambaran darah memperlihatkan sel yang imatur. Hal ini seringkali limfosit dan kadang-kadang mieloblast. Hitung sel normal 8000 – 11000/mm3.
 Adanya proliferasi sel blast, produksi eritrosit dan paltelet terganggu sehingga akan menimbulkan anemia dan trombositopenia
 Sistem retikuloendotelial akan terpengaruh dan menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh dannmudah mengalami infeksi
 Manifestasi akan tampak pada gambaran gagalnya bone marrow dan infiltrasi organ, sistem saraf pusat. Gangguan pada nutrisi dan metabolisme. Depresi sumsum tulang yang akan berdampak pada penurunan lekosit, eritrosit, faktor pembekuan dan peningkatan tekanan jaringan
 Adanya infiltrasi pada ekstra medular akan berakibat terjadinya pembesaran hati, limfe dan nodus limfe dan nyeri persendian
Insidens :
ALL (Acute Lymphoid, lymphocitic Leukemia)
1. Leukemia dalah jenis kanker anak yang paling umum terjadi; ALL bertanggung jawab untuk 80% kasus leukemia pada anak
2. Insidensi paling tinggi terjadi pada anak yang berusia antara 3 – 5 tahun
3. Anak perempuan menunjukkan prognosis yang lebih baik daripada anak laki-laki
4. Anak kulit hitam mempunyai frekuensi remisi yang lebih sedikit dan angka kelangsungan hidup (survival rate) rata-rata yang juga lebih rendah
ANLL (Acute Non Lymphoid Leukemia)
1. Tidak ada usia insidens puncak
2. ANLL mencakup 15% - 25% kasus leukemia pada anak
3. Risiko terkena penyakit ini meningkat pada anak yang mempunyai kelainan kromosom bawaan seperti down sindrom
4. Lebih sulit dari ALL dalam hal menginduksi remisi (angka remisi 70%)
5. Remisinya lebih singkat daripada anak-anak dengan ALL
6. 50% anak yang mengalami pencangkokan sumsum tulang memiliki remisi berkepanjangan

Manifestasi Klinis :
1. Pilek tidak sembuh-sembuh
2. Pucat, lesu, mudah terstimulasi
3. Demam dan anorexia
4. Berat badan menurun
5. Petechiae, memar tanpa sebab
6. Nyeri pada tulang dan sendi
7. Nyeri abdomen
8. Lymphedenopathy
9. Hepatoslenomegaly
10. Abnormal WBC
Komplikasi :
1. Sepsis
2. Perdarahan
3. Gagal organ
4. Iron Deficiency Anemia (IDA)
5. Kematian
Uji Laboratorium dan Diagnostik :
1. Pemeriksaan darah tepi : terdapat lekosit imatur
2. Aspirasi sumsum tulang (BMP) : hiperseluler terutama banyak terdapat sel muda
3. Biopsi sumsum tulang
4. Lumbal punksi untuk mengetahui apakah sistem saraf pusat terinfiltrasi
Penatalaksanaan Medis :
 Pelaksanaan kemoterapi
 Irradiasi kranial
Terdapat 3 fase pelaksanaan kemoterapi :
 Fase induksi : dimulai 4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada fase ini diberikan terapi kortikosteroid (prednison), vincristin, dan L-asparaginase. Fase induksi dinyatakan berhasil jika tanda-tanda penyakit berkurang atau tidak ada dan dalam sumsum tulang ditemukan jumlah sel muda kurang dari 5 %
 Fase profilaksis sistem saraf pusat : pada fase ini diberikan terapi methotrexate, cytarabine dan hydrocortison melalui intrathecal untuk mencegah invasi sel leukemia ke otak. Terapi irradiasi kranial dilakukan hanya pada pasien leukemia yang mengalami gangguan sistem saraf pusat
 Konsolidasi : pada fase ini kombinasi pengobatan dilakukan untuk mempertahankan remisi dan mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh. Secara berkala, mingguan atau bulanan dilakuakn pemeriksaan darah lengkap untuk menilai respon sumsum tulang terhadap pengobatan. Jika terjadi supresi sumsum tulang, maka pengobatan dihentikan sementara atau dosis obat dikurangi.
Pengkajian Keperawatan :
1. Riwayat penyakit
2. Kaji adaya tanda-tanda anemia : pucat, kelemahan, sesak, napas cepat
3. Kaji adanya tanda-tanda leukopenia : demam, infeksi
4. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia : petechiae, purpura perdarahan membran mukosa; kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medula : limfadenopati, hepatomegali, splenomegali
5. Kaji adanya pembesaran testis, hematuria, hipertensi, gagal ginjal, inflamasi disekitar rectal dan nyeri.
Diagnosa Keperawatan :
1. Risiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
2. Risiko injury; perdarahan berhubungan dengan perubahan faktor pembekuan
3. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan cancer cahexia
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian pemberian kemoterapi, radioterapi
6. Nyeri berhubungan dengan dilakukannya pemeriksaan diagnostik, efek fisiologis neoplasma
7. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan memiliki anak dengan kondisi yang mengancam kehidupan
8. Berduka berhubungan dengan kehilangan aktual/potensial
Intervensi Keperawatan :
1. Mencegah risiko infeksi
 Tempatkan anak dalam ruangan khusus untuk meminimalkan terpaparnya anak dari sumber infeksi
 Anjurkan pengunjung atau staf melakukan tehnik mencuci tangan yang baik
 Gunakan tehnik aseptik untuk seluruh prosedur invasif
 Monitor tanda-tanda vital anak
 Evaluasi keadaan anak terhadap tempat-tempat munculnya infeksi seperti tempat penusukan jarum, ulserasi mukosa, masalah gigi
 Hindari penggunaan temperatur rectal, supositoria atau enema
 Berikan waktu yang sesuai antara aktivitas dan istirahat
 Berikan diet nutrisi secara lengkap
 Berikan vaksinasi dari virus yang tidak diaktifkan (misalnya varicella, polio salk, influenza)
 Monitor penurunan jumlah leukosit yang menunjukkan anak memiliki risiko yang besar untuk terkena infeksi
 Kolaborasi untuk pemberian antibiotik
2. Mencegah risiko injury; perdarahan
 Evaluasi kulit dan membran mukosa setiap hari
 Laporkan setiap tanda-tanda terjadi perdarahan (tekanan darah menurun, denyut nadi cepat, pucat diaforesis, meningkatnya kecemasan)
 Periksa setiap urin atau tinja terhadap adanya tanda-tanda perdarahan
 Gunakan jarum yang kecil pada saat melakukan injeksi
 Gunakan sikat gigi yang lembut atau lunak dan oral hygiene
 Hindari untuk pemberian aspirin
 Lakukan pemeriksaan darah secara teratur
 Kaji adanya tanda-tanda terlibatnya sistem saraf pusat (sakit kepala, penglihatan kabur)
3. Mencegah risiko kurangnya volume cairan
 Berikan antiemetik awal sebelum dilakukan kemoterapi
 Berikan antiemetik seara beraturan pada waktu program kemoterapi
 Kaji respon anak terhadap antiemetik
 Hindari memberikan makanan yang memiliki aroma yang merangsang mual atau muntah
 Anjurkan makan dengan porsi kecil tapi sering
 Kolaborasi untuk pemberian cairan infus untuk mempertahankan hidrasi
4. Memberikan nutrisi yang adekuat
 Berikan dorongan pada orang tua untuk tetap rileks pada saat anak makan
 Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak, rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi padasaat selera makan anaka meningkat
 Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi
 Ijinkan anak untuk terlibat dalam persiapan dan pemilihan makanan
5. Mencegah kerusakan integritas kulit
 Kaji secra dini tanda-tanda kerusakan integritas kulit
 Berikan perawatan kulit khususnya daerah perianal dan mulut
 Ganti posisi dengan sering
 Anjurkan intake dengan kalori dan protein yang adekuat
6. Mencegah atau mengurangi nyeri
 Kaji tingkat nyeri dengan skala nyeri
 Kaji adanya kebutuhan klien untuk mengurangi rasa nyeri
 Evaluasi efektivitas terapi pengurangan rasa nyeri dengan melihat derajat kesadaran dan sedasi
 Berikan tehnik mengurangi rasa nyeri nonfarmakologi
 Berikan pengobatan anti nyeri secara teratur untuk mencegah timbulnya nyeri berulang
7. Meningkatkan peran keluarga :
 Jelaskan laasan dilakukannya setiap tindakan
 Hindari untuk menjelaskan hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada
 Jelaskan orang tua tentang proses penyakit
 Jelaskan seluruh tindakan yang dapat dilakukan oleh anak
 Jadualkan waktu bagi keluarga dan anak bersama-sama tanpa diganggu oleh staf RS
 Dorong keluarga untuk mengekspresikan perasaannya sebelum anak didiagnosis menderita keganasan dan prognosis anak buruk
 Diskusikan dengan keluarga bagaimana mereka akan mengatakan kepada anak tentang pengobatan anak dan kemungkinan terapi tambahan
8. Antisipasi berduka
 Kaji tahapan berduka pada anak/keluarga
 Berikan dukungan pada respon adaptif yang diberikan klien, ubah respon maladaptif
 Luangkan waktu bersama anak untuk memberikan dukungan pada anak agar mengekspresikan perasaannya atau ketakutannya
 Fasilitasi anak untuk mengekspresikan perasaannya melalui bermain
Hasil yang diharapkan :
1. Anak mencapai remisi
2. Anak bebas dari komplikasi penyakit
3. Anak dan keluarga mempelajari tentang koping yang efektif untuk menghadapi hidup dan penatalaksanaan penyakit tersebut

C. Thalasemia
Definisi :
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh defisiensi produksi rantai globin pada hemoglobin terutama rantai beta, kendatipn dapat mempengaruhi juga rantai alfa. Kondisi ini dapat homozigot (talasemia rantai alfa) yang ketal in utero, menyebabkan hidrops fetalis, atau heterozigot (talasemia rantai beta) yang secara relatif merupakan kondisi jinak.
Etiologi :
Faktor genetik
Patofisiologi :
 Normal Hb adalah terdiri dari Hb-A dengan 2 polipeptida rantai alfa dan 2 rantai beta
 Pada beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kurangnya rantai beta dalam molekul hemoglobin yang mana ada gangguan kemampuan eritrosit membawa oksigen
 Ada suatu kompensator yang meningkat dalam rantai alpa, tetapi rantai beta memproduksi secara terus menerus sehingga menghasilkan hemoglobin defective. Ketidakseimbangan polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan desintegrasi. Hal ini menyebabkan sel darah merah menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia dan atau hemosiderosis
 Kelebihan pada rantai alpa ditemukan pada thalasemia beta dan kelebihan rantai beta dan gamma ditemukan pada thalasemia alpa. Kelebihan rantai polipeptida ini mengalami presipitasi dalam sel eritrosit. Globin intra-eritrositik yang mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida alpa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stabil – badan Heinz, merusak sampul eritrosit dan menyebabkan hemolisis
 Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi bone marrow memproduksi RBC yang lebih. Dalam stimulasi yang konstan pada bone marrow, produksi RBC diluar menjadi eritropoetik yang aktif. Kompensator produksi RBC secara terus menerus pada suatu dasar kronik, dan dengan cepatnya destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh.
Manifestasi Klinis :
1. Letargi
2. Pucat
3. Kelemahan
4. Anorexia
5. Sesak napas
6. Tebalnya tulang kranial
7. Pembesaran limpa
8. Menipisnya tulang kartilago
9. Dysritmia
Komplikasi :
1. Fraktur patologi
2. Hepatosplenomegali
3. Gangguan tumbuh kembang
4. Disfungsi organ
Uji Laboratorium dan Diagnostik :
1. Studi hematologi : terdapat perubahan-perubahan pada sel darah merah yaitu mikrositosis, hipokromia, anisositosis, poikilositosis, sel target eritrosit yang imatur, penurunan hemoglobin dalam hematokrit
2. Elektroforesis hemoglobin : peningkatan hemoglobin F dan A2
Penatalaksanaan Medis :
1. Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 10 g/dl. Komplikasi dan pemberian transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadi penumpukan zat besi yang disebut hemosiderosis. Hemosiderosis dapat dicegah dengan pemberian deferoxamine (Desferal)
2. Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen dan meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari suplemen (transfusi)
Pengkajian Keperawatan :
1. Pengkajian Fisik :
 Riwayat keperawatan
 Kaji adanya tanda-tanda anemia (pucat, lemah, sesak, napas cepat, hipoxia kronik, nyeri tulang dan dada, menurunnya aktivitas, anorexia), epistaksis berulang
2. Pengkajian Psikososial
 Anak : usia, tugas perkembangan psikososial (Erikson), kemampuan beradaptasi dengan penyakit, mekanisme koping yang digunakan)
 Keluarga : respon emosional keluarga, koping yang digunakan keluarga, penyesuaian keluarga terhadap stress
Diagnosa Keperawatan :
1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan berkurangnya komponen seluler yang penting untuk menghantarkan oksigen/zat nutrisi ke sel
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tidak seimbangnya kebutuhan pemakaian dan suplai oksigen
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurangnya selera makan
4. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan dampak penyakit anak terhadap fungsi keluarga

Intervensi :
1. Perfusi jaringan adekuat
 Memonitor tanda-tanda vital, pengisian kapiler, warna kulit, membran mukosa
 Meninggikan posisi kepala di tempat tidur
 Memeriksa dan mendokumentasikan adanya rasa nyeri
 Observasi adanya keterlambatan respon verbal, kebingungan atau gelisah
 Mengobservasi dan mendokumentasikan adanya rasa dingin
 Mempertahankan suhu lingkungan agar tetap hangat sesuai kebutuhan tubuh
 Memberikan oksigen sesuai kebutuhan
2. Mendukung anak tetap toleran terhadap aktivitas
 Menilai kemampuan anak dalam melakukan aktivitas sesuai dengan kondisi fisik dan tugas perkembangan anak
 Memonitor tanda-tanda vital selama dan setelah melakukan aktivitas, dan mencatat adanya respon fisiologis terhadap aktivitas (peningkatan denyut jantung, peningkatan tekanan darah atau nafas cepat)
 Memberikan informasi kepada pasien atau keluarga untuk berhenti melakukan aktivitas jika terjadi gejala-gejala peningkatan denyut jantung, peningkatan tekanan darah, napas cepat, pusing atau kelelahan
 Berikan dukungan kepada anak untuk melakukan kegiatan sehari-hari sesuai kemampuan anak
 Mengajarkan kepada orang tua teknik memberikan reinforcement terhadap partisipasi anak di rumah
 Membuat jadual aktivitas bersama anak dan keluarga dengan melibatkan tim kesehatan lain
 Menjelaskan dan memberikan rekomendasi kepada sekolah tentang kemampuan anak dalam melakukan aktivitas, memonitor kemampuan melakukan aktivitas secara berkala dan menjelaskan kepada orang tua dan sekolah
3. Memenuhi kebutuhan nutrisi yang adekuat
 Mengijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak, rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat
 Berikan makanan yang disertai suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi
 Mengijinkan anak untuk terlibat dalam persiapan dan pemilihan makanan
 Mengevaluasi berat badan anak setiap hari
4. Keluarga akan mengatasi dan dapat mengendalikan stress yang terjadi pada keluarga
 Memberikan dukungan pada keluarga dan menjelaskan kondisi anak sesuai realita yang ada
 Membantu orang tua untuk mengembangkan strategi untuk melakukan penyesuaian terhadap krisis akibat penyakit yang diderita anak
 Memberikan dukungan kepada keluarga untuk mengembangkan harapan realistis terhadap anak
 Menganalisa sistem yang mendukung dan penggunaan sumber-sumber di masyarakat (pengobatan, keuangan, sosial) untuk membentu proses penyesuaian keluarga terhadap penyakit anak
Hasil yang diharapkan :
1. Anak menunjukkan tanda-tanda perfusi jaringan yang adekuat
2. Anak akan toleran terhadap aktivitas
3. Anak akan menunjukkan tanda-tanda terpenuhinya kebutuhan nutrisi
4. Keluarga dapat mengatasi dan mengendalikan stress


D. Demam Berdarah Dengue (DHF)
Definisi :
Demam berdarah Dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue (arbovirus) yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypty.
Etiologi :
Virus dengue sejenis arbovirus
Patofisiologi :
 Virus dengue akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan kemudian akan bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks virus – antibodi, dalam sirkulasi akan mengaktivasi sistem komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a, 2 peptida yang berdaya untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat sebagai faktor meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu
 Terjadinya trombositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protrombin, faktor V, VII, IX, X dan fibrinogen) merupakan faktor penyebab terjadinya perdarahan hebat, terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF
 Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Renjatan terjadi secara akut
 Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami hipovolemik. Apabila tidak diatasi bisa terjadi anorexia jaringan, asidosis metabolik dan kematian
Klasifikasi DBD :
 Derajat I : demam disertai gejala klinis lain atau perdarahan spontan, uji tourniket positif, trombositopenia dan hemokonsentrasi
 Derajat II : derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain
 Derajat III : kegagalan sirkulasi, nadi cepat dan lemah, hipotensi, kulit dingin, lembab, gelisah
 Derajat IV : renjatan berat, denyut nadi dan tekanan darah tidak dapat diukur
Manifestasi Klinis :
 Demam tinggi selama 5 – 7 hari
 Perdarahan terutama perdarahan bawah kulit; petechie, echimosis, hematoma
 Epistaksis, hematemesis, melena, hematuri
 Mual, muntah, tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi
 Nyeri otot, tulang sendi, abdomen dan ulu hati
 Sakit kepala
 Pembengkakan sekitar mata
 Pembesaran hati, limpa dan kelenjar getah bening
 Tanda-tanda renjatan (cyanosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah menurun, gelisah, capillary refill lebih dari 2 detik, nadi cepat dan lemah)
Uji Laboratorium dan Diagnostik :
 Darah lengkap : hemokonsentrasi (hematokrit meningkat 20% atau lebih), trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)
 Serologi : uji HI (hemaaglutination inhibition test)
 Rontgen thorax : efusi pleura
Penatalaksanaan Medis :
 Minum banyak 1,5 – 2 liter/24 jam dengan air the, gula, atau susu
 Antipiretik jika terdapat demam
 Antikonvulsan jika terdapat kejang
 Pemberian cairan melalui infus, dilakukan jika pasien mengalami kesulitan minum dan nilai hematokrit cenderung meningkat
Pengkajian Keperawatan :
 Kaji riwayat keperawatan
 Kaji adanya peningkatan suhu tubuh, tanda-tanda perdarahan, mual, muntah, tidak nafsu makan, nyeri ulu hati, nyeri otot dan sendi, tanda-tanda renjatan (denyut nadi cepat dan lemah, hipotensi, kulit dingin dan lembab terutama pada ekstremitas, sianosis, gelisah, penurunan kesadaran)
Diagnosa Keperawatan :
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan, muntah, dan demam
2. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan perdarahan
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak ada nafsu makan
4. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan kondisi anak
5. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi virus
Intervensi Keperawatan :
1. Mencegah terjadinya kekurangan volume cairan :
 Mengobservasi tanda-tanda vital paling sedikit setiap 4 jam
 Monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan cairan : turgor tidak elastis, ubun-ubun cekung, produksi urin menurun
 Mengobservasi dan mencatat intake dan output
 Memberikan hidrasi yang adekuat sesuai dengan kebutuhan tubuh
 Memonitor nilai laboratorium : elektrolit darah, BJ urin, serum albumin
 Memberikan hidrasi yang adekuat sesuai dengan kebutuhan tubuh
 Mempertahankan intake dan output yang adekuat
 Memonitor dan mencatat berat badan
 Memonitor pemberian cairan melalui intravena setiap jam
 Mengurangi kehilangan cairan yang tidak terlihat (IWL)


2. Perfusi jaringan adekuat
 Mengkaji dan mencatat tanda-tanda vital (kualitas dan frekuensi denyut nadi, tekanan darah, capillary refill)
 Mengkaji dan mencatat sirkulasi pada ekstremitas (suhu, kelembaban, dan warna)
 Menilai kemungkinan terjadinya kematian jaringan pada ekstremitas seperti dingin, nyeri, pembengkakan kaki
3. Kebutuhan nutrisi adekuat
 Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak, rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat
 Berikan makanan yang disertai suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi
 Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan tehnik porsi kecil tetapi sering
 Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, dan skala yang sama
 Mempertahankan kebersihan mulut pasien
 Menjelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk penyembuhan penyakit
4. Mensupport koping keluarga adaptif
 Mengkaji perasaan dan persepsi orang tua atau anggota keluarga terhadap situasi yang penuh stress
 Ijinkan orang tua dan keluarga untuk memberikan respon secara panjang lebar dan identifikasi faktor yang paling mencemaskan keluarga
 Identifikasi koping yang biasa digunakan dan seberapa besar keberhasilannya dalam mengatasi keadaan
 Tanyakan kepada keluarga apa yang dapat dilakukan untuk membuat anak/keluarga menjadi lebih baik, dan jika memungkinkan memberikan apa yang diminta oleh keluarga
 Memenuhi kebutuhan dasar anak; jika anak sangat tergantung dalam melakukan aktivitas sehari-hari, ijinkan hal ini terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama kemudian secara bertahap meningkatkan kemandirian anak dalam memenuhi kebutuhan dasarnya
5. Mempertahankan suhu tubuh normal
 Ukur tanda-tanda vital : suhu
 Ajarkan keluarga dalam pengukuran suhu
 Lakukan tepid sponge (seka) dengan air biasa
 Tingkatkan intake cairan
 Berikan terapi untuk menurunkan suhu
Hasil yang diharapkan :
1. Anak dapat menunjukkan tanda terpenuhinya kebutuhan cairan
2. Anak dapat menunjukkan tanda perfusi jaringan perifer yang adekuat
3. Anak menunjukkan kebutuhan nutrisi yang adekuat
4. Keluarga menunjukkan koping yang adaptif
5. Anak menunjukkan tanda-tanda vital dalam batas normal

DAFTAR PUSTAKA

Betz L. Cecily, Sowden A. Linda, 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3.
EGC : Jakarta

Suriadi, Yuliani. Rita, 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi 1. EGC : Jakarta

Sacharin, M. Rosa, 1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik. Edisi 2. EGC : Jakarta

Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Cetakan keempat. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fak. Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments