ANDA INGIN DAPAT UANG

IKLAN

IKLAN

TENTANG SAYA

Makassar / Pinrang / Indonesia Komisi Gratis | Bisnis Online Tanpa Modal

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR CRURIS 1/3 MEDIAL TERBUKA GRADE III By Udin

ASKEP FRAKTUR CRURIS 1/3 MEDIAL TERBUKA GRADE III
A. Konsep Dasar Medik
1) Anatomi dan Fisiologi Tulang
a. Pengertian Tulang
Tulang terdiri dari materi intra sel, baik berupa sel hidup atau pun sel yang tidak hidup. Bahan-bahan tersebut berasal dari embriohialin tulang rawan melalui osteogenesis kemudian menjadi tulang, proses ini oleh sel-sel yang disebut osteoblas. Kerasnya tulang merupakan hasil deposit kalsium (Barbara C. Long,hal. 320).
b. Fungsi Tulang
1. Mendukung jaringan tubuh dan memberi bentuk tubuh
2. Melindungi organ tubuh (misalnya, jantung, otak, paru-paru dan jaringan lunak).
3. Memberikan pergerakan ( oto melekat pada tulang untuk berkontraksi dan bergerak).
4. Membentuk sel-sel darah merah di dalam sum-sum tulang.
5. Menyimpan garam-garam mineral seperti Mg, Ca dan P.
c. Klasifikasi tulang berdasarkan bentuknya :
1. Tulang panjang (femur, humerus, tibia dan fibula)
Terdiri dari dua bagian batang dan dua bagian ujung. Tulang pipa ini bekerja sebagai alat ungkit dari tubuh dan kemungkinan bergerak.
2. Tulang pendek ( carpals )
Bentuknya tidak teratur, sebagian besar terbuat dari jaringan tulang jarang karena diperkuat sifat yang ringan padat tipis.
3. Tulang ceper ( tulang tengkorak )
Terdiri dari tulang padat dengan lapisan luar adalah tulang cacellous.
4. Tulang yang tidak beraturan; vertebrae (sama dengan tulang pendek).
5. Tulang sesamoid.
Tulang kecil terpendek sekitar tulang persendian dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial. Misalnya patella (cap lutut).
2) Patah Tulang / Fraktur
2.1 Pengertian
a. Patah tulang : terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan )
b. Patah tulang : patah tulang biasanya disediakan oleh trauma atau tenaga fisik )
c. Patah tulang : diskontuinitas dari jaringan tulang (patah tulang) yang biasanya disebabkan oleh adanya kekerasan yang timbul secara mendadak )

2.2 Penyebab patah tulang
a. Trauma / tekanan pada tulang
Jenis kekuatan yang menyebabkan luka menentukan jenis dan tingkatan serta jenis patah tulang. Kekuatan itu dapat tensile (dengan tegangan) tulang ditarik terpisah atau compressive di mana terjepit dan untuk menentukan tipe injury dan luas patah tergantung pada kerasnya trauma / tekanan mengenai tulang.
- Trauma langsung/direk, yaitu bila fraktur terjadi di tempat di mana bagian tersebut mendapat ruda paksa, misalnya benturan/pukulan pada antebrakii yang mengakibatkan fraktur.
- Trauma tidak langsung/indirek, misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pergelangan tangan, kolum arargikum humeri, supra kondiler dan klavikula.
- Trauma ringan pun dapat menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri sudah rapuh.
b. Mineralisasi yang tidak adekuat dari tulang
Patah tulang dapat disebabkan tidak cukupnya mineral pada tulang dan ini mengacu pada tulang yang patologik, dapat terjadi karena terapi jangka panjang dengan steroid, osteoposus tulang dan tidak ada aktifitas yang lama.

3). Pembagian Patah Tulang
Pembagian patah tulang dapat dirasakan dengan jenis dan klasifikasi patah tulang.
1. Jenis-jenis patah tulang
a. Clossed fraktur merupakan suatu keadaan dimana patah tulang tidak berhubungan dengan area di luar patah tulang atau tidak mengakibatkan luka pada jaringan otot.
b. Open fraktur adalah terkoyaknya kulit dan jaringan lunak lapisan dalam, yang diakibatkan langsung oleh patah tulang atau patahan tulang menembus jaringan otot dan kulit.
Patah tulang berdasarkan garis patah yaitu :
a. Complete : Pemisahan komplit dari tulang menjadi dua fragmen.
b. Incomplete : Hanya sebagian dari tulang patah sehingga tulang tidak putus serta tidak terjadi pergeseran (Pusdiknakes, 1995 Hal 75)
2. Klasifikasi patah tulang
a. Green stick
Patah tulang di satu sisi tulangnya pecah dan sisi lainnya bengkak.
b. Transverse
Patah tulang yang arahnya langsung melintasi secara luas atau membesar.
c. Patah tulang yang arahnya membentuk sudut melintasi tulang secara luas atau membesar.
d. Spiral
Patah tulang yang melilit mengelilingi batang tulang
e. Canmunited
Patah tulang di mana tulang pecah menjadi beberapa bagian atau pecahan.
f. Deppessed
Patah tulang yang pecahan-pecahan tulang terkendali (sering terlihat pada patah tulang tengkorak dan tulang muka).
g. Compression
Patah tulang di mana pecahan-pecahan tulang masuk pada tulangnya sendiri (sering terlihat pada patah tulang belakang).
h. Avulsion
Patah tulang di mana pecahan tulang ditarik oleh jaringan ikat/ligament atau tarikan tendor.
i. Impacted
Di mana pecahan tulang mendesak masuk keperluan-pecahan tulang lainnya.
4). Patofisiologi
Tulang dikatakan fraktur atau patah bila terdapat interupsi/pemotongan dari kontinuitas jaringan tulang, biasanya fraktur disertai cedera jaringan di sekitarnya yaitu ligamen, otot, tendon, pembuluh darah dan persyarafan. Trauma yang terjadi pada patah tulang akan menyebabkan seseorang memiliki keterbatasan gerak, ketidakseimbangan dan nyeri pergerakan. Jaringan lunak yang terdapat di sekitar fraktur : seperti pembuluh darah syaraf dan otot serta organ lain yang ada di sekitarnya dapat rusak pada waktu trauma ataupun karena mencuatnya tulang yang patah. Tulang memiliki sangat banyak pembuluh darah, maka akibat dari fraktur yang keluar dari volume darah ke dalam jaringan lunak atau pada luka yang terbuka. Luka dan keluarnya darah tersebut dapat mempercepat pertumbuhan bakteri.
5). Gambaran klinik
a. Deformitas atau perubahan bentuk/struktur.
b. Nyeri akibat kerusakan jaringan dan perubahan struktur, spasme yang dapat disebabkan dengan penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan bagian fraktur.
c. Echiomosis atau perubahan sub-cutan
d. Berkurangnya sensori yang dapat terjadi karena adanya gangguan sarag, di mana sarag itu dapat atau terjepit atau terputus oleh gangguan tulang.
e. Pergerakan abnormal
f. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal, nyeri dan spasme
g. Krepitasi yang dapat didengar dirasakan bila fraktur digerakkan
h. Shok yang dapat disebabkan karena kehilangan darah dan rasa nyeri yang hebat
i. Foto x-ray menunjukkan abnormal pada bagian tulang.
6). Proses penyembuhan tulang (Bone Healing)
Untuk penyembuhan fraktur (patah tulang) diperlukan, mobilisasi dilaksanakan dengan cara :
1. Pembidaian physiologic
Pembidaian semacam ini terjadi secara alami karena menjaga dan mencegah pemakaian dan spasmus otot karena rasa sakit pada waktu digerakkan.
2. Pembidaiam secara ortopedi eksternal
Ini digunakan dengan gips dan traksi
3. Fiksasi internal
Pada metode ini kedua tulang patah dikembalikan kepada posisi asalnya dan difiksasi dengan plat dan skrop atau diikat dengan kawat.
Tingkatan-tingkatan pertumbuhan tulang sebagai berikut :
1. Hematoma formation (pembentukan hematom)
Karena pembuluh darah cederah, maka terjadi pendarahan pada daerah fraktur. Darah menumpuk dan mengeratkan ujung-ujung tulang yang patah.

2. Fibrin meskwork (pembentukan fibrin)
Hematona menjadi terorganisir karena fibioblast masuk lokasi cedera membentuk fibrin meskwork (gumpalan fibrin) berdinding sel darah putih pada lokasi, melokalisir radang.
3. Inflasi osteoblast (pembentukan kolagen)
Oskoblas masuk ke darah untuk pembuluh darah berkembang mengalirkan nutrisi untuk membentuk kolagen.
4. Callus formation (pembentukan callus)
Osteoblas terus membuat jalan masuk untuk membangun tulang, osteoblast merusak tulang mati dan membantu mensintesa tulang baru.
5. Remodeling
Pada langkah terakhir in callus yang berlebihan diabsorbsi dan tulang trabecular terbentuk pada garis cedera.
7) Penatalaksanaan fraktur
Yang harus diperhatikan pada waktu mengenal fraktur adalah :
a.) Recognisi / pengenalan
Di mana riwayat kecelakaannya atau riwayat terjadi fraktur harus jelas
b.) Reduksi / manipulasi
Usaha untuk tindakan manipulasi fragmen yang patah sedapat mungkin dapat kembali seperti letak asalnya.
c.) Retensi / memperhatikan reduksi
Merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen
d.) Traksi
Suatu proses yang menggunakan kekuatan tarikan pada bagian tubuh dengan memakai katrol dan tahanan beban untuk mengokong tulang.
e.) Gips
Suatu teknik untuk mengimobilisasi bagian tubuh tertentu dalam bentuk tertentu dengan mempergunakan alat tertentu.
8). Operation / pembedahan
Saat ini metode yang paling menguntungkan, mungkin dengan pembedahan. Metode ini disebut fiksasi internal dan reduksi terbuka. Dengan tindakan operasi tersbut, maka fraktur akan diresposisi kedudukan normal, sesudah itu direduksi dengan menggunakan alat orthepedi yang sesuai.
9). Komplikasi akibat fraktur
10). Komplikasi penyembuhan fraktur
Meskipun kebanyakan yang menderita patah tulang setahap demi setahap akan mengalami proses penyantunan tetapi ada juga yang menderita ketidakmampuan fisik akibat komplikasi seperti :
a.) Mal union, yaitu suatu keadaan fraktur ternyata sembuh dalam posisi yang kurang sesuai, membentuk sudut atau posis terkilir.
b.) Delayed union, yaitu proses penyembuhan yang terus berlangsung tetapi kecepatannya lebih rendah dari biasanya.
c.) Non union, yaitu suatu keadaan di mana tidak terjadi penyembuhan fraktur yang dapat menjadi komplikasi yang mencelakakan.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Pada asuhan keperawatan ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan. Proses keperawatan adalah, suatu proses pemecahan masalah yang dinamis dalam usaha memperbaiki dan memelihara pasien sampai optimal melalui suatu pendekatan yang sistematis untuk membantu pasien.
Proses keperawatan terdiri dari 4 tahap yaitu :
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data dan menganalisanya sehingga diketahui kebutuhan pasien tersebut. Hasil analisis data merupakan pernyataan masalah keperawatan atau yang disebut diagnosa keperawatan. Dalam pengkajian data perlu dikaji pada pasien yang patah tulang sebagai berikut :
a. Pengumpulan data
Merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menggali data dari berbagai sumber yang mendukung dan mempengaruhi timbulnya masalah. Sumber data tersebut berasal dari klien, keluarga, perawat dan tim kesehatan yang lainnya, status serta pemeriksaan laboratorium dan radiology.
Metode pengumpulan data
1.) Identifikasi klien : Nama lengkap, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan alamat.
2.) Identifikasi penanggung
3.) Riwayat penyakit antara lain :
a.) Keluhan utama : Pada keluhan utama akan nampak semua apa yang dirasakan klien pada saat itu seperti nyeri pada tungkai sebelah kanan akibat fraktur sifat-sifat dari nyeri, lokasi, identitas, serta keluhan-keluhan lain yang menyertai.
b.) Riwayat kesehatan masa lalu/lampau
Riwayat kesehatan masa lalu/lampau akan memberikan informasi-informasi tentang kesehatan atau penyakit masa lalu yang pernah diderita dan diterima pada masa yang lalu.
4.) Pemeriksaan fisik
a.) Inspeksi :
- Bentuk ( tulang panjang)
- Adanya deformitas
- Adanya luka laserasi
b.) Palpasi pada fraktur, bila dipalpasi akan timbul nyeri
5.) Laboratorium darah Hb bila berkurang dari 10 mg% menandakan anemia dan jumlah leukosit. Bila lebih dari 10.000/mm3 menandakan adanya infeksi.
6.) Radiologi x’ray akan menunjukkan adanya fraktur.

b. Analisa data
Dengan melihat data subjektif dan data objektif dapat menentukan permasalahan yang dihadapi klien dengan memperhatikan masalah dapat diketahui penyebab sampai pada efek dari masalah tersebut. Dari hasil analisa data inilah dapat ditentukan diagnosa keperawatan yang muncul.

c. Diagnosa
Kesimpulan yang dibuat oleh perawat berdasarkan data yang telah terkumpul mengenai reaksi-reaksi klien terhadap penyakit dan keperawatannya, kebutuhan dan masalah yang dihadapi klien. Masalah yang dapat timbul dapat berupa potensial maupun aktual. Diagnosa keperawatan pada klien dengan fraktur cruris (tibia & fibula) dextra terbuka dapat tersusun berdasarkan prioritas masalah sebagai berikut :
1. Nyeri berhubungan dengan fraktur.
2. Resiko terjadi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kekurangan pengembangan paru akibat mobilisasi.
3. Menurunnnya mobilitas fisik berhubungan dengan neuromuskuler skletal, imobilisasi ekstremitas.
4. Gangguan integritas kulit ; dekubitus berhubungan dengan penurunan sirkulasi daerah yang tertekan karena imobilisasi.
5. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi.
6. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif.
7. Resiko terjadi gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan kurangnya aliran darah, trauma langsung pada vaskuler dan jaringan serta edema yang berlebihan.

2. Perencanaan (Pusdiknakes, 1995 Hal 85).
Setelah diagnosa ditegakkan, maka langkah selanjutnya adalah memenuhi kebutuhan tersebut melalui suatu perencanaan yang baik.
a. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d terputusnya kontinuitas jaringan tulang ditandai dengan :
- Klien mengatakan nyeri pada tungkai kanan bawah
- Tampak luka fraktur pada tungkai kanan bawah
- Ekspresi wajah tampak meringis apabila timbul nyeri
- Tampak terpasang gips spalk pada tungkai kanan bawah.
Tujuan :
Nyeri berkurang dengan kriteria :
- Tidak tampak adanya luka
- Ekspresi wajah tampak tenang
- Tidak terpasang gips spalk pada tungkai kanan bawah
Tindakan keperawatan :
1. Kaji tingkat nyeri
Rasional :
Dengan mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan klien dapat mempermudah dalam memberikan tindakan.
2. Ukur tanda – tanda vital
Rasional :
Pengukuran tanda-tanda vital merupakan salah satu indikator dalam menentukan tingkah nyeri yang dirasakan klien.
3. Atur posisi yang menyenangkan
Rasional :
Dengan mengatur posisi yang menyenangkan dapat mengurangi rasa nyeri.
4. Ajarkan teknik relaksasi
Rasional :
Dengan teknik relaksasi memungkinkan sirkulasi O2 kejaringan terpenuhi.
5. Penatalaksanaan pemberian obat analgetik : pondex 500 mg 3 x 1 tablet
Rasional :
Dengan pemberian obat analgetik dapat menekan ambang nyeri sehingga nyeri tidak di persepsikan di otak.
b. Gangguan mobilitas fisik b/d fraktur ditandai dengan :
- Klien mengatakan kaki kanan tidak bisa diangkat.
- Tampak kaki kanan tidak bisa diangkat
- Ekspresi wajah meringis
- Tampak terpasang gips spalk pada tungkai kanan bawah.
- Tampak kaki kanan gerakannya terbatas.
Tujuan
Gangguan mobilitas fisik teratasi dengan kriteria :
- Kaki kanan bisa diangkat
- Ekspresi wajah tampak tenang
- Tidak terpasang gips spalk pada tungkai kanan bawah
- Klien bebas menggerakkan kaki kanannya.
Tindakan keperawatan
1. Kaji derajat mobilitas klien
Rasional :
Untuk mengetahui kemampuan klien menggerakkan tungkai kanan bawah.
2. Bantu klien dalam rentang gerak pada tungkai kanan bawah

Rasional :
Dengan pergerakan extremitas bawah dapat meningkatkan aliran darah ke otak dan tulang.
3. Ubah posisi klien setiap 2 jam
Rasional :
Dengan mengubah posisi klien dapat mengurangi penekanan bagian bawah.
4. Jelaskan pentingnya mobilisasi
Rasional :
Agar klien dapat mengerti mobilisasi dan dapat mempertahankan gerak.
c. Gangguan pemenuhan ADL b/d pembatasan aktivitas ditandai dengan :
- Klien mengatakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dibantu oleh keluarga.
- Klien mengatakan selama di rumah sakit belum pernah mandi
- Kebutuhan sehari-hari dibantu oleh keluarga
- Bab, bak dibantu oleh keluarga
- Tampak kulit kotor dan tercium bau badan.
Tujuan
Klien akan menunjukan kebutuhan sehari-hari terpenuhi dengan kriteria :
- Eliminasi bab, bak tidak dibantu oleh keluarga
- Kulit klien tampak bersih dan tidak tercium bau badan
Tindakan keperawatan
1. Kaji kesukaran-kesukaran yang dialami klien
Rasional :
Dengan mengkaji kesukaran-kesukaran yang dialami klien, kita dapat mengetahui kemampuan klien memenuhi kebutuhannya.
2. Mandikan klien di tempat tidur
Rasional :
Dengan memandikan dapat memberi rasa segar dan bersih.
3. Libatkan keluarga dalam tindakan perawatan diri klien
Rasional :
Agar klien merasa diperhatikan oleh keluarga dan semua kebutuhan terpenuhi.
4. Beri penjelasan tentang perawatan diri
Rasional :
Dengan memberikan penjelasan maka klien dan keluarga dapat mengerti dan memahami tentang pentingnya perawatan diri.
d. Resiko perluasan infeksi b/d adanya luka ditandai dengan :
- Tampak adanya luka pada tungkai kanan bawah
- Tampak oedema pada tungkai kanan bawah
- Terpasang gips spalk pada tungkai kanan bawah.
- Leukosit 20.000,103/mm3.

Tujuan
Peluasan infeksi teratasi dengan kriteria :
- Luka kering
- Tidak tampak oedema
- Tidak terpasang gips spalk
Tindakan keperawatan
1. Kaji tanda – tanda perluasan infeksi
Rasional :
Untuk mengetahui sejauhmana perluasan infeksi dan penentukan tindakan selanjutnya.
2. Pertahankan teknik aseptif dan antiseptif
Rasional :
Dengan teknik aseptif dan antiseptif dapat mencegah perluasan infeksi.
3. Ganti verban setiap hari
Rasional :
Untuk menyembuhkan luka dan mencegah berkembangbiaknya pertumbuhan mikroorganisme disekitar luka.
4. Penatalaksanaan pemberian obat antibiotik :
- Cyprofloxacin 500 mg 3 x 1 tablet
- Metronidazole 500 mg 3 x 1 tablet

Rasional :
Dengan pemberian antibiotik dapat melemahkan dan membunuh kuman yang ada disekitar luka.
3. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah pengobatan dan perwujudan dan rencana keperawatan yang meliputi tindakan-tindakan yang direncanakan oleh perawat.
Dalam melaksanakan rencana tersebut harus kerjasama dengan tim kesehatan yang lain, keluarga klien dan dengan klien sendiri.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan :
- Kebutuhan klien
- Dasar dari tindakan
- Kemampuan perseorangan dan keahlian/keterampilan dari perawat
- Sumber-sumber dari keluarga dan klien sendiri
- Sumber-sumber dari instansi
4. Evaluasi
Evaluasi adalah merupakan pengukuran dari keberhasilan rencana keperawatan dalam memenuhi kebutuhan klien
Tahap evaluasi merupakan kunci keberhasilan dalam menggunakan proses keperawatan.
Adapun evaluasi klien dengan fraktur cruris (tibia & fibula) dextra terbuka dilakukan berdasarkan kriteria tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, dan asuhan keperawatan dikatakan berhasil apabila dalam evaluasi terlihat pencapaian kriteria tujuan perencanaan yang diberikan pada klien dengan gangguan sistem muskuloskletal dengan fraktur cruris (tibia & fibula) dextra terbuka.

DAFTAR PUSTAKA

Bloch, B. 1978, Fraktur dan Dislokasi, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta.

Chairuddin Rasyid, Prof, Ph.D, FKS, 2000, Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Sub Bagian Bedah Ortopedi Bagian Bedah Fakultas Kedokteran UNHAS Ujung Pandang.

Departemen Kesehatan, Pusdiknakes, 1995, Penerapan Proses Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Muskuloskletal

Engram, B. 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Volume 2, Penerbit EGC.

Junandi, P. et. All, 1982, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 2

Long, C. Barbara, 1996, Perawatan Medikal Bedah, Edisi 2, Penerbit EGC.

Larson, B. C. dan Sould. M, Ortopedic Nursing, Seventh Edition.

Lorraine. P. A. S, dan Wilson. M, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Jakarta, Edisi 4, Buku Kedokteran EGC.

Linda, E. S. SKp, 1992, Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat.

Prihardjo. E, 1993, Perawatan Nyeri Untuk Paramedis, Jakarta, Penerbit EGC.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

LAPORAN PENDAHULUAN HAEMOROID By Udin

Asuhan Keperawatan Haemoroid
1. Pengertian
Haemoroid adalah pelebaran vena di dalam fleksus hemoroidalis yang tidak merupakan keadaan patologik1). Hanya apabila haemoroid ini menyebabkan keluhan atau penyulit, diperlukan tindakan.
2. Anatomi dan Fisiologi
Kolon merupakan sambungan dari usus halus, dengan panjang kira – kira satu setengah meter. Dimulai pada katup ileosekal. Sekum terletak di daerah iliaka kanan dan menempel pada otot iliopsoas, kemudian kolon naik sebelah kanan lumbal yang disebut ; kolon asendens, lalu dibawah hati berbeluk pada tempat yang disebut fleksura hepatika.
Selanjutnya kolon berjalan melalui tepi daerah epigastrium dan umbilikal sebagai kolon transversal kemudian membelok sebagai fleksura lienalis dan berjalan melalui daerah kiri lumbal sebagai kolon desendens. Di daerah kanan iliaka terdapat belokan yang disebut fleksura sigmoid dan dibentuk kolon sigmoideus dan kemudian masuk ke dalam pervis besar dan menjadi rektum.
Rektum kira – kira sepuluh sentimeter terbawah dari usus besar. Dimulai dari kolon sigmoid dan berakhir pada saluran anal yang kira – kira 3 cm panjangnya. Saluran ini berakhir pada anus yang diapit oleh otot internus dan otot eksternus.

Usus besar menunjukkan empat morfologi lapisan seperti apa yang ditemukan juga pada usus halus yaitu :
a. Lapisan serosa.
Merupakan lapisan paling luar, dibentuk oleh peritoneum. Mesenterium merupakan lipatan peritoneum yang lebar, sehingga memungkinkan usus bergerak lebih leluasa. Mesenterium menyokong pembuluh darah, pembuluh limfe dan saraf mensuplai usus. Fungsi dari peritoneum adalah mencegah pergesekan antara organ – organ yang berdekatan, dengan mengekskresikan cairan serosa, yang berfungsi sebagai pelumas.
b. Lapisan otot longitudinal
Meliputi usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul dalam tiga pita, yang disebut taenia koli, taenia bersatu pada sigmoid distal sehingga rektum mempunyai selubung otot yang lengkap.
c. Lapisan otot sirkuler
Diantara kedua lapisan otot tersebut, terdapat pembuluh darah dan pembuluh limfe, yang mensuplai usus.

d. Lapisan mukosa
Lapisan paling dalam tidak mempunyai vili atau rugae dan merupakan salah satu perbedaan dengan usus halus.
Usus besar secara klinis, dibagi dalam separuh bagian kanan dan kiri, menurut suplai darahnya. Arteri mesenterika superior memperdarahi separuh bagian kanan, yaitu sekum, kolon asendens dan dua pertiga proksimal kolon transversal. Arteri mesenterika inferior mensuplai separuh bagian kiri yaitu sepertiga distal kolon mendatar (transversum).
Suplai darah lain pada rektum diselenggarakan oleh arterial haemoroidalis yang berasal dari aorta abdominalis dan arteri iliaka interna.
Venous rektum dari kolon dan rektum superior melalui vena mesenterika superior dan inferior, dan vena haemorhoidalis superior yang menjadi bagian dari sistem porta yang mengalirkan darah ke hati. Vena haemorhoidalis medial dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi sistemik.
Suplai saraf usus besar, dilakukan oleh sistem saraf dengan mengecualikan sfingter eksterna yang diatur oleh sistem volunter. Serabut parasimpatis berjalan melalui nervus vagus, kebagian tengah kolon transversum dan nervus pervikus, yang berasal dari daerah sakral mensuplai bagian distal
Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi, kontraksi dan perangsangan sfingter rektum sedangkan perangsangan parasimpatis mempunyai efek – efek berlawanan.
Fisiologi kolon dan rektum
Usus besar mempunyai berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi usus. Fungsi kolon yang paling penting adalah absorbsi air dan elektrolit yang sebagian besar dilangsungkan pada kolon bagian kanan, dan fungsi kolon sigmoid sebagai reservoir untuk dehidrasi massa faeces, sampai defekasi berlangsung.
Kolon mengabsorpsi air, sekitar 600 ml/hari dibandingkan dengan 8.000 ml air yang diabsorbsi oleh usus halus. Akan tetapi kapasitas absorbsi usus besar sekitar 2.000 ml/hari. bila jumlah ini dilampaui oleh pengiriman cairan yang berlebihan dari ileum mengakibatkan diare.2)
Berat akhir faeces yang dikeluarkan perhari sekitar 2.000 gram, 75 % diantaranya berupa air dan sisanya terdiri dari residua makanan yang tidak diabsorbsi, bakteri, sel epitel yang mengelupas dan mineral yang tidak diabsorpsi.
Sangat sedikit pencernaan berlangsung dalam usus besar. Sekresi usus besar mengandung banyak mukus, menunjukkan sekresi alkali yang tidak mengandung enzim. Mukus bekerja sebagai pelumas dan pelindung mukosa pada peradangan usus.
3. Penyebab
a. Kongesti vena yang disebabkan gangguan aliran balik dari vena haemoroidalis
b. Keturunan
c. Kelainan anatomi
d. Peningkatan tekanan intra abdomen, pekerjaan, sex
Lebih banyak pada laki – laki dari pada wanita.
4. Insiden
Kedua jenis haemoroid ini sangat sering terjadi dan terdapat pada sekitar 35 % penduduk yang berusia lebih dari 25 tahun.3) walaupun keadaan ini tidak mengancam jiwa, tetapi dapat meyebabkan perasaan yang sangat tidak nyaman.
5. Patofisiologi
Pada daerah rektum terdapat vena hemoroidalis superior, medialis dan inferior. Vena hemoroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka yang merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. Terdapat anastomosis antara vena hemoroidalis superior, medialis dan inferior. Tekanan yang cukup tinggi pada kavum abdominalis secara kronis misalnya tumor rektum atau pasien yang selalu konstipasi, sehingga selalu mengedan bila BAK atau pasien hipertrofi prostat, sehingga tekanan di dalam vena porta juga meningkat yang mengakibatkan aliran darah balik pada vena-vena ini yang lambat laun bisa terjadi varises vena pada daerah rektum.
Apabila sudah terjadi varises vena-vena hemoroidalis, konstipasi dapat memperburuk keadaan, dimana faeces yang keras dapat menggores vena hemoroidalis yang membengkak, sehingga apabila keadaan ini terus menerus bisa menimbulkan perlukaan dan perdarahan secara perlahan-lahan akhirnya dapat menonjol keluar yang menyebabkan prolapsus.
6. Pembagian
Haemoroid terbagi atas:
a. Haemoroid interna
Adalah pleksus vena hemoroidalis superior di atas garis mukokutan dan di tutupi oleh mukosa. Haemoroid interna ini merupakan bantalan vaskuler di dalam jaringan sub mukosa pada rectum sebelah bawah.
b. Haemoroid eksterna
Merupakan pelebaran dan penonjolan pleksus haemoroid inferior terdapat di sebelah distal garis mukokutan didalam jaringan di bawah epitel anus
7. Faktor Pencetus
- Konstipasi atau diare.
- Sering mengejan.
- Kongesti pelvis pada kehamilan.
- Pembesaran prostat.
- Fibroma uteri dan tumor rectum.


8. Gambaran Klinis
a. Haemoroid interna.
1.) Derajat satu.
Tidak menonjol melalui anus dan hanya dapat ditemukan dengan protoskopi, lesi biasanya terletak pada posterior kanan dan kiri dan anterior kanan, mengikuti penyebaran cabang-cabang vena hemoridalis superior dan tampak sebagai pembengkakan globular kemerahan.
2.) Derajat dua.
Dapat mengalami prolapsus melalui anus saat defekasi haemoroid ini dapat mengecil secara spontan atau dapat direduksi (dikembalikan ke dalam) secara manual.
3.) Derajat tiga.
Mengalami prolapsus secara permanen (keadaan dimana varises yang keluar tidak dapat masuk kembali) dengan sendirinya tapi harus didorong. Dalam hal ini mungkin saja varises keluar dan harus didorong kembali tanpa perdarahan.
4.) Derajat IV
Akan timbul keadaan akut, dimana varises yang keluar pada saat defekasi tidak dapat didorong masuk kembali hal ini akan menimbulkan rasa sakit. Biasanya ini terdapat trombus yang diikuti infeksi dan kadang-kadang timbul peningkatan rektum.
b. Haemoroid eksterna.
1.) Akut.
Pembengkakan bulat kebiruan pada pinggir anus dan sebenarnya merupakan haematoma. Bentuk ini sering sangat nyeri dan gatal karena ujung-ujung saraf pada kulit merupakan reseptor nyeri. Kadang-kadang perlu membuang thrombus dengan anastesi local atau dapat diobati dengan “kompres duduk” panas dan analgetik.
2.) Kronik atau skintag.
Berupa satu atau lebih lipatan kulit anus yang terdiri dari penyambung dan sedikit pembuluh darah.
9. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan colok dubur.
Diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan karsinoma rectum. Pada haemoroid interna tidak dapat diraba sebab tekanan vena di dalamnya tidak cukup tinggi dan biasanya tidak nyeri.
b. Anoskop.
Diperlukan untuk melihat haemoroid interna yang tidak menonjol keluar.
c. Proktosigmoidoskopi.
Untuk memastikan bahwa keluhan bukan disebabkan oleh proses radang atau proses keganasan di tingkat yang lebih tinggi.
10. Diagnosis
a. Darah di anus.
b. Prolaps.
c. Perasaan tak nyaman di anus (pruritus anus).
d. Pengeluaran lendir
e. Anemia sekunder.
f. Tampak kelainan khas pada inspeksi.
g. Gambaran khas pada anoskopi/rektoskopi.
11. Diagnosis Banding
a. Perdarahan.
b. Trombosis.
c. Strangulasi.
Haemoroid yang mengalami strangulasi adalah haemoroid yang mengalami prolapsus dimana darah dihalangi oleh spingter ani.
12. Pengobatan
a. Pembedahan pada derajat lanjut.
b. Kompres duduk atau bentuk pemanasan basah lain, dan penggunaan suppositoria.
c. Eksisi bedah dapat dilakukan bila perdarahan menetap, terjadi prolapsus, atau pruritus dan nyeri anus yang tidak dapat diatasi.

B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
Masalah-masalah yang memerlukan kerjasama dari pasien yang akan menjalani haemorhoidectomy berkaitan dengan deteksi awal dan penanganan akan kemungkinan komplikasi segera setelah masa post operasi. Observasi yang sering dari pembalut dan pengawasan intake dan output serta tanda vital akan mendeteksi adanya komplikasi ini. Kira-kira 10 hari setelah pembedahan, atau penggunaan zat sklerosa, pengelupasan dari jaringan timbul. Perdarahan yang berlebihan mungkin juga timbul pada saat ini. Pasien perlu menyadari kemungkinan ini karena mereka mungkin sudah berada di rumah. Mereka akan dinasehati untuk memberitahu dokter mereka dan mungkin harus datang ke UGD untuk penanganan. Penyembuhan luka mungkin menyebabkan pembentukan jaringan parut dan striktur. Kesulitan dalam mengeluarkan tinja dan nyeri pada defekasi harus dilaporkan pada dokter. Dilatasi atau pembedahan lebih lamjut mungkin diperlukan.
Pada preoperasi, perawat harus terlibat melalui kerjasama dalam mengumpulkan data untuk membuat diagnosis yang tepat. Observasi harus dibuat mengenai tanda dan gejala yang digambarkan sebelumnya, diikuti dengan dokumentasi dari penemuan dan konsultasi dengan dokter.
1. Pengkajian
Pengkajian post operasi terdiri atas observasi dari pembalut akan adanya perdarahan yang berlebihan, menentukan adekuatnya b.a.b, pengkajian nyeri dan tanda infeksi, dan pengawasan pengeluaran dari tinja. Menentukan perasaan pasien dan kaitannya dengan masalah dan perawatan dan juga tingkat pengetahuan dasar dari klien.
Diagnosa keperawatan pada pasien yang menerima perawatan pada gangguan daerah rectal meliputi :
a. Konstipasi berhubungan dengan penahanan dari keinginan untuk b.a.b untuk menghindari nyeri karena haemorhoid atau setelah pembedahan haemorhoid
b. Nyeri berhubungan dengan haemorhoid atau setelah penanganan bedah dan perlukaan jaringan
c. Potensial gangguan integritas kulit (perdarahan) berhubungan dengan iritasi oleh defekasi (internal) atau ruptur hemorrhoid (eksternal).

2. Perencanaan
a. Konstipasi berhubungan dengan penahanan dari keinginan untuk b.a.b untuk menghindari nyeri karena haemorhoid atau setelah pembedahan haemorhoid
Tujuan :
Eliminasi b.a.b pasien normal dengan nyeri minimal
Intervensi dan rasional
1.) Berikan obat nyeri secara teratur setelah pembedahan 24-48 jam.
Rasional :
Pengontrolan nyeri akan membantu mengurangi resiko konstipasi yang mungkin akibat pasien menahan keinginan untuk b.a.b karena nyeri rectal
2.) Anjurkan duduk rendam sekali atau dua kali sehari.
Rasional :
Hal ini menghilangkan rasa tidak nyaman dan menunjang penyembuh-an dengan meningkatkan sirkulasi ke daerah perianal dan mempertahankan hygiene yang baik.
3.) Berikan cincin busa atau donat pada pasien untuk duduk.
Berikan pelunak tinja selama beberapa hari. jika tidak berhasil, selanjutnya berikan minyak enema. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake cairan (6 gelas air perhari).
Rasional :
Mencegah pengerasan tinja yang akan meningkatkan rasa tidak nya-man dengan b.a.b
b. Nyeri berhubungan dengan haemorhoid atau setelah penanganan bedah dan perlukaan jaringan
Tujuan :
Pasien akan mengalami rasa tidak menyenangkan yang minimal
Intervensi dan rasional :
1.) Berikan obat nyeri secara teratur setelah pembedahan 24-48 jam. Jika pasien rawat jalan, ajarkan pasien menggunakan obat nyeri secara teratur sesuai kebutuhan.
Rasional :
Hal ini mengurangi stimulasi nyeri.
2.) Ajarkan pasien untuk menghindari peregangan pada saat b.a.b
Rasional :
Hal ini mencegah penekanan pada daerah perineal atau jaringan rectal yang luka. Penekanan akan menyebabkan nyeri dan mungkin memper-lambat penyembuhan.
3.) Ajarkan pasien menggunakan salep, suppositoria, atau bentuk lain.
Rasional :
Membantu untuk menyusutkan atau menganastesi membran mukosa yang membengkak
4.) Ajarkan pasien mengenai prognosis :
a.) Penyembuhan yang sempurna mungkin memakan waktu beberapa minggu.
b.) Nyeri akan hilang setelah waktunya.
Rasional :
Pengetahuan tentang hasil yang diha-rapkan akan mengurangi ketakutan dan memberikan referensi bagi kemajuan terhadap penyembuhan yang sempurna
c. Potensial gangguan integritas kulit (perdarahan) berhubungan dengan iritasi oleh defekasi (internal) atau ruptur hemorrhoid (eksternal).
Tujuan :
Pasien tidak mengalami perdarahan melalui rectal
Intervensi dan rasional :
1.) Ajarkan pasien dalam program b.a.b
a.) Ajarkan pasien untuk meningkatkan diet intake cairan (1 – 2 quarts) dan serat (buah-buahan dan sayur).
b.) Ajarkan pasien menggunakan pelunak tinja sesuai kebutuhan
c.) Ajarkan pasien menghindari peregangan.
d.) Ajarkan pasien untuk menghindari mengangkat.
Rasional :
Tinja yang keras atau peregangan pada saat b.a.b akan mengiritasi hemorrhoid dan mukosa rectum dan mungkin mengakibatkan perdarahan
2.) Ajarkan pasien untuk mengobservasi perdarahan rectal
Rasional :
Perdarahan pelan, tidak ditangani mungkin akan menyebabkan anemia, khususnya pada pasien tua.
3.) Anjurkan pasien untuk melakukan pemeriksaan rectal secara teratur.
Rasional :
Haemorhoid internal, tidak bergejala mungkin timbul atau muncul kembali.
4.) Observasi pembalut seringkali setelah pembedahan (setiap 24 jam). Informasikan pasien tentang periode berbahaya 5 hari setelah pembedahan, ketika jaringan mengelupas.
Rasional :
Ini memungkinkan seseorang dapat mendeteksi perdarahan dengan cepat, jika terjadi. Penanganan dini perdarahan mencegah kehilangan darah yang lebih banyak.

3. Pelaksanaan
Inplementasi meliputi pemberian obat nyeri secara teratur dari 24 jam pertama sampai 48 jam setelah pembedahan untuk mengontrol nyeri, menganjurkan duduk rendam untuk menghilangkan rasa tidak nyaman dan menunjang penyembuhan dengan meningkatkan sirkulasi pada daerah perianal, dan memberikan cincin busa atau donat pada pasien untuk duduk untuk meringankan tekanan pada daerah perianal. Ini penting untuk menghindari konstipasi, yang mungkin menyebabkan pasien menahan keinginan untuk b.a.b karena nyeri rectal. Pemberian pelunak tinja dan menganjurkan intake cairan untuk memungkinkan defekasi. Mengajarkan pasien untuk menghindari peregangan selama b.a.b dan gunakan ointment/salep, suppositoria, krim atau bentuk lain untuk membantu menyusutkan atau menganastesi membran mukosa yang membengkak. Intervensi interdependent meliputi monitoring tanda awal ketidakadekuatan penyembuhan seperti perubahan warna dari jaringan yang sehat sebelumnya, perdarahan baru atau perembesan, dan nyeri atau rasa tidak nyaman yang baru atau meningkat.
Perubahan dalam harga diri berhubungan dengan sifat dari keadaan rectal dan menyebabkan rasa malu, hilangnya martabat, atau kebanggaan yang mungkin menyertai pembukaan, pemeriksaan, dan perawatan daerah rectal. Manifestasi mungkin mencakup penurunan kemampuan pasien untuk berdiskusi berbagai aspek perawatan, kemarahan, agitasi, dan mudah tersinggung berhubungan dengan seringnya keluhan nyeri atau ketidaknyamanan.
Implementasi keperawatan meliputi mendengarkan dengan aktif dan menunjukkan pemahaman dan perhatian sambil menganjurkan pasien berdiskusi dalam masalah ini. Memberikan pernyataan seperti “ini adalah masalah yang sulit untuk dibicarakan” mungkin menganjurkan pasien mengungkapkan secara verbal perasaan emosi yang sedang dirasakan. Intervensi yang lain adalah menjamin privasi selama pelaksanaan personal hygiene, pemeriksaan dan perawatan dengan menutup pintu, menarik sampiran di pinggir tempat tidur, atau menempatkan sebuah tanda “Pemeriksaan sedang dilakukan” terakhir bahwa semua keluhan ketidaknyamanan harus dikaji dengan hati-hati.
Karena haemorhoid interna mungkin timbul kembali, program pembelajaran pasien harus dilakukan yang menekankan diet intake cairan (kira-kira 2 qt perhari) dan serat (buah-buahan dan sayuran) penggunaan pelunak tinja sesuai kebutuhan, dan pentingnya menghindari peregangan selama defekasi. Mengajarkan pasien untuk mengawasi adanya perdarahan rectum dan melakukan pemeriksaan rectal secara teratur.

4. Evaluasi
Kriteria hasil atas pencapaian tujuan sebagai berikut :
a. Pasien akan mempunyai jumlah perdarahan sedikit pada postoperasi.
b. Pasien akan mengungkapkan nyeri terkontrol baik dengan obat.
c. Pasien akan mempunyai eliminasi yang adekuat dengan tinja yang lunak.
d. Pasien akan mendiskusikan perasaan tentang masalah dan penanganan.
e. Pasien akan menggambarkan dengan tepat perawatan diri setelah keluar.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mansyoer, dkk 1995, Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Arthur, C. Guyton, 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Editor Irwati, S. Edisi 9, EGC. Jakarta.

Doenges, E. Marylinn,1999, Rencana Asuhan Keperawatan , Edisi ketiga, EGC. Jakarta.

Engram, Barbara, 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3, Editor Monica, SKp, EGC. Jakarta.

Price, A. Silvia, Lorraine M. Wilson, Patofisiologi; (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4, Penerbit Buku Kedokteran), EGC, Jakarta, 1995.

Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong. 1996. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Tucker, Susan Martin, (1998) Standar Perawatan Pasien, Edisi V, EGC. Jakarta.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR CRURIS DEXTRA By Udin

ASKEP Fraktur Cruris Dextra 1/3 Tengah Terbuka
a. Pengertian
Tulang adalah terdiri dari materi : intrasel baik berupa sel hidup ataupun sel yang tidak hidup. Bahan-bahan tersebut berasal dari embriohialin tulang rawan melalui osteogenesis kemudian menjadi tulang, proses ini oleh sel-sel yang disebut osteoblas. Kerasnya tulang merupakan hasil deposit kalsium.
(Barbara C. Long, 1996, hal ; 320).
b. Fungsi tulang
1.) Mendukung jaringan tubuh dan memberi bentuk tubuh.
2.) Melindungi organ tubuh (mis : jantung, otak, paru-paru) dan jaringan lunak).
3.) Memberikan pergerakan.
4.) Membentuk sel-sel daerah merah di dalam sum-sum tulang.
5.) Menyimpan garam-garam mineral seperti Mg, Ca, dan P.
c. Klasifikasi tulang berdasarkan bentuknya.
a.) Tulang panjang (femur, humerus, dan tibia).
Terdiri dari dua bagian batang dan dua bagian ujung. Tulang pipa bekerja sebagai alat pengungkit dari tubuh yang memungkinkannya bergerak.
b.) Tulang pendek (carpals).
Bentuknya tidak teratur, bagian besar terbuat dari jaringan tulang karena diperkuat sifat yang ringan padat tipis.
c.) Tulang pipih
Terdiri dari lapisan jaringan tulang keras dan di tengahnya lapisan tulang seperti tulang seperti spons, dijumpai pada tulang tengkorak tulang inominata, tulang xosa, iga, dan skapula. Tulang pipih menyediakan permukaan luas untuk kaitan otot-otot
d.) Tulang tak beraturan : vertebrae dan tulang wajah.
e.) Tulang sesamoid
Tulang kecil terpendek di sekitar tulang yang persendian dan tulang didukung oleh tendon dan jaringan fasial : misalnya patella.
d. Struktur tulang tibia dan fibula/tulang panjang
1.) Tibia atau tulang kering
Merupakan kerangka yang utama dari tungkai bawah yang terletak medial, dan fibula atau tulang betis. Tibia adalah tulang pipih dengan sebuah batang dan dua ujung.
a.) Ujung atas memperlihatkan kondilus medial dan kondilus ini merupakan bagian yang paling atas dan bagian paling pinggir dari tulang. permukaan superiornya memperlihatkan dua dataran permukaan. Persendian untuk femur dalam permukaan.
b.) Batang bentuk segitiga, anteriornya paling menjulang dan sepertinya sebelah tengah terletak sub kutan bagian ini membentuk kista tibia. Permukaan medial adalah subkutanens pada hampir seluruh panjangnya dan merupakan daerah berguna di mana dapat diambil serpihan tulang untuk transplantasi (genograf).
c.) Ujung bawah masuk dalam formasi persendian mata kaki, tulangnya sedikit melebar dan ke bawah sebelah medial menjulang menjadi maleolus medial dan maleolus tibia.
Permukaan lateral dari ujung bawah bersendi dengan fibula pada persendian fibia fibula inferior. Tibia membuat sendi dengan tiga tulang yaitu femur, fibula, dan talus.
2.) Fibula atau tulang betis
Adalah tulang sebelah lateral tungkai bawah tulang ini adalah tulang pipa dengan seluruh batang dan dua ujung.
a.) Ujung atas berbentuk kepala bersendi dengan bagian belakang luar dari tibia, tetapi tidak dalam formasi sendi lutut.
b.) Batang ramping dan terbenam dalam otot tungkai dan memperbanyak kaitan.
c.) Ujung bawah di sebelah bawah lebih memanjang menjadi maleolus atau maleolus fibulae.
3.) Tulang panjang
Tulang panjang terdiri dari tiga bagian :
a.) Diafise
Merupakan bagian tengah tulang berbentuk silindris dan terdiri dari korteks tulang sehingga memiliki kekuatan yang besar sekali.
b.) Epifise
Merupakan tulang yang melebar dekat dengan ujung tulang. daerah ini sebagian besar terdiri dari trabekula tulang atau tulang spongiosa dan mengandung sum-sum tulang.
Diantara epifise dan diafise terdapat cakra apifise yang terdiri dari tulang spongiosa dan osteoblast. Seluruh tulang dilapisi oleh lapisan fibrosa kecuali yang membentuk sendi yang disebut periosteum.
c.) Periosteum
Merupakan membran fibrosa yang putih dan tebal pada bagian yang meliputi diafise tulang dan merupakan lapisan menghubungkan tendon dan ligamentum.
Periosteum mengandung sel-sel yang dapat berproliferasi, dapat berperan dalam proses pertumbuhan tulang, juga terdapat pembuluh darah dan saraf.
Di bagian dalam tulang panjang terdapat saluran medular atau lubang yang diisi dengan sum-sum tulang kering yang dibatasi oleh dinding osteoblast. Jaringan tulang merupakan jaringan yang terdiri dari matriks yang seluler dan aseluler.
Jaringan kerja tulang terletak pada serabut kolagen dan garam mineral dan karbonat.
Dengan adanya kombinasi antara serabut dan mineral sifat tulang menjadi kuat dan kokoh.
2. Patah tulang/fraktur
a. Pengertian
- Pengertian patah tulang : patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
(Patofisiologi, Sylvia A. Price Lorraine M. Wilson,1995, hal 1183).
- Pengertian patah tulang : terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan.
(Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, 2000, hal 384).
- Pengertian patah tulang : terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa.
(Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi revisi, 1997, hal 1138).
b. Penyebab patah tulang
1.) Trauma/tekanan pada tulang
Jenis kekuatan yang menyebabkan luka menentukan jenis dan tingkatan serta jenis patah tulang. kekuatan itu dapat tensil tulang ditarik terpisah atau compresive dimana tulang terjepit dan untuk menentukan tipe injury dan luas patah tulang tergantung pada kerasnya trauma/tekanan yang mengenai tulang.
- Trauma tulang/direk : bila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa cruris, benturan/pukulan pada antebrakii yang mengakibatkan fraktur.
- Trauma tidak langsung/indirek cruris : penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pergelangan tangan, collum cirurgicum humeri, suprakondiler, dan klavikula.
- Trauma ringan pun dapat menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri sudah rapuh.
2.) Mineralisasi yang tidak adekuat dari tulang.
Patah tulang dapat disebabkan tidak cukupnya mineral pada tulang dan ini mengacu pada patah tulang yang pathological, dapat terjadi karena terapi jangka panjang dengan steroid, osteoporosis carsinoma tulang dan tidak ada aktifitas yang lama.
(Kapita Selekta Kedokteran, edisi III, 2000, hal 384 – 385).
c. Jenis-jenis patah tulang
1.) Fraktur tertutup
Disebut fraktur simpleks, di sini patah tulang tidak mempunyai hubungan dengan udara terbuka.
2.) Fraktur terbuka
Kulit robek dari dalam karena fragmen tulang yang menembus kulit oleh kekerasan yang langsung dari luar.

3.) Fraktur komplikasi.
Di sini persendian, saraf pembuluh darah atau organ juga ikut terkena fraktur, ini dapat terbentuk fraktur terbuka maupun tertutup.
4.) Fraktur patologis
Karena adanya penyakit lokal pada tulang, maka kekerasan yang ringan saja pada bagian tersebut sudah dapat menyebabkan fraktur.
d. Klasifikasi patah tulang
1.) Sudut patah
- Fraktur transveral
Fraktur yang garis patahnya terjadi lurus terhadap sumbu dari panjang tulang.
- Fraktur oblik
Fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu tulang.
- Fraktur spiral.
Timbul akibat torsi pada ekstremitas, fraktur ini biasa pada cedera main ski.
2.) Fraktur multipel pada satu tulang
a.) Fraktur segmental
Yaitu dua fraktur berdekatan pada salah satu tulang yang menyebabkan terpisahnya segmen sentral dan suplai darah.


b.) Comminuted fraktur
Adalah serpihan atau terputusnya keutuhan jaringan dimana terdapat lebih dari dua fragmen tulang.
3.) Fraktur inpaksi
Faktur kompresi terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga yang berbeda antaranya.
4.) Fraktur patologik.
Terjadi pada daerah-daerah tulang yang lemah oleh karena tumor atau proses patologik lainnya.
5.) Fraktur beban lainnya
Terjadi pada orang baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, baru diterima untuk berlatih dalam angkatan bersenjata atau yang baru memulai latihan baru.
6.) Fraktur grenstick
Adalah fraktur yang tidak sempurna dan sering terjadi pada anak-anak.
7.) Fraktur avulsion
Untuk memisahkan suatu fragmen tulang pada tempat insersi tendon maupun ligamen.
8.) Fraktur sendi
Fraktur yang melibatkan sendi, terutama apabila geometri sendi tergantung bermakna.

Derajat patah tulang terbuka dibagi atas tiga bagian :
- Derajat I, luka lacerasi kurang dari 2 cm, keadaan fraktur sederhana dan dislokasi fragmen minimal.
- Derajat II, luka lacerasi lebih dari 2 cm, confusi otot sekitarnya dan dislokasi fragmen jelas.
- Derajat III, luka lebar rusak hebat atau hilang jaringan sekitar keadaan fraktur kominutof segmental dan tulang ada yang hilang.
e. Gambaran klinik fraktur
1.) Riwayat trauma.
2.) Nyeri, pembengkakan dan nyeri tekan pada daerah fraktur (tendernes).
3.) Perubahan bentuk (deformitas).
4.) Hilang fungsi anggota badan dan persedian yang terdekat.
5.) Gerakan-gerakan yang abnormal.
6.) Krepitasi.
f. Proses penyembuhan tulang
Penyembuhan fraktur/patah tulang adalah suatu proses yang berlangsung secara terus-menerus dan bertahap dalam beberapa stadium penyembuhan yaitu :
1.) Stadium hematoma/perdarahan.
Darah tertampung di suatu daerah tertutup dalam hematoma sel-sel subperiosteal dan endoteal berproliferasi.

2.) Stadium proliferasi/inflamasi.
Sel-sel subperiosteal dan sel endosteal.
3.) Stadium callus
Pengendapan kalsium pada anyaman hasil stadium I – II.
4.) Stadium konsolidasi.
5.) Stadium remodelling
(Kapita Selekta Kedokteran, edisi III, 2000, hal 387).
g. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur
1.) Luas fraktur.
2.) Reposisi yang tidak memadai.
3.) Immobilisasi yang tidak memadai dilihat dari segi waktu maupun luas immobilisasi.
h. Penatalaksanaan fraktur
Dalam menangani fraktur, yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaannya adalah :
1.) Recognisi/pengenalan
Dimana riwayat kecelakaannya atau riwayat terjadi fraktur harus jelas.
2.) Reduksi/manipulasi
Usaha untuk tindakan manipulasi fragmen yang patah sedapat mungkin dapat kembali seperti bentuk asalnya/letak normal.


3.) Retensi dan reduksi
Retensi menyebabkan metode-metode yang dilaksanakan untuk mempertahankan fragmen tersebut selama penyembuhan. Metode yang dipergunakan untuk mempertahankan reduksi adalah pemasangan gips dan traksi.
a.) Gips
Adalah balutan ketat yang digunakan untuk mengimobilisasi bagian tertentu (Barbara Engram, 1998, hal 280).
Tujuan pemasangan gips :
(1.) Mengimobilisasi organ fraktur.
(2.) Mencegah atau koreksi deformitas (memperbaiki bentuk).
(3.) Memberi tekanan pada jaringan lunak.
(4.) Mensupport dan menstabilkan sendi-sendi yang lemah.
(5.) Sebagai pembalut darurat.
b.) Traksi
Adalah menggunakan kekuatan penarikan pada bagian tubuh. Ini dapat dicapai dengan memberikan beban yang cukup untuk mengatasi penarikan otot.
Tujuan pemasangan traksi :
(1.) Meminimalkan spasme otot.
(2.) Untuk mengurangi dan mempertahankan kesejahteraan tubuh.
(3.) Untuk mengimobilisasi fraktur.
(4.) Untuk mengurangi deformitas.
c.) Tindakan pembedahan
Metode yang paling banyak keunggulannya untuk mempertahankan reduksi dengan melakukan fiksasi eksterna.
d.) Plat/fiksasi interna
Kedua ujung tulang yang patah dikembalikan pada posisi asalnya dan difiksasi dan dengan plat dan skrup atau diikat dengan kawat.
4.) Rehabilitasi
Rencana rehabilitasi harus segera dimulai dan dilaksanakan bersama dengan pengobatan fraktur.
i. Komplikasi fraktur
Komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur antara lain-lain :
1.) Mal union, yaitu suatu keadaan fraktur ternyata sembuh dalam posisi yang kurang sesuai, membuat sudut atau posisi terkilir.
2.) Delayed union, yaitu proses penyembuhan yang terus berlangsung tetapi kecepatannya lebih rendah dari biasanya.
3.) Non union, yaitu suatu keadaan dimana tidak terjadi penyembuhan fraktur yang dapat menjadi komplikasi mencelakakan.
Penyebabnya adalah :
- Terlalu banyak tulang yang rusak pada cedera sehingga tidak ada yang membatasi fragmen.
- Terjadi nekrosa tulang karena tidak aliran darah.
Anemi, endokrin imbalance atau penyebab sistemik yang lain.

B. Konsep Dasar Askep
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktek keperawatan yang langsung diberikan kepada klien ke berbagai tatanan pelayanan kesehatan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia dengan menggunakan metodologi proses keperawatan berpedoman kepada standar keperawatan dilandasi etik dan etika keperawatan, dalam lingkup wewenang serta tanggung jawab perawat.
Perawat daam memberikan asuhan keperawatan kepada klien melalui proses perawatan. Teori dan konsep diimplementasikan secara terpadu dalam tahapan terorganisir yang melalui pengkajian, diagnosa, perencanaan, tindakan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan gangguan muskuloskletal khususnya fraktur cruris dextra 1/3 tengah terbuka (Barbara Engram, 1998, Hal 280) meliputi :
a. Pengumpulan data meliputi :
1.) Biodata klien dan penanggung jawab klien.
Biodata klien terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, agama, tanggal masuk RS, nomor medik, dan diagnosa medik.

2.) Keluhan utama
Merupakan keluhan klien pada saat dikaji, klien mengalami fraktur dan immobilisasi biasanya mengeluh tidak dapat melakukan pergerakan, nyeri, lemah, dan tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
3.) Pemeriksaan fisik
Dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi terhadap berbagai sistem tubuh maka ditemukan sebagai berikut :
a.) Keadaan umum
Pada klien yang immobilisasi perlu dilihat dalam hal keadaan umum meliputi penampilan, postur tubuh, kesadaran, dan gaya bicara klien, immobilisasi biasanya mengalami kelemahan, kebersihan dirinya kurang, bentuk tubuh kurus akibat berat badan turun, dan kesadaran composmentis.
b.) Sistem pernafasan
Perlu dikaji mulai bentuk hidung ada tidaknya secret pergerakan cuping hidung waktu bernafas. Kesimetrisan dada waktu bernafas, apakah ada ronchi, serta frekuensi nafas. Hal ini penting karena immobilisasi berpengaruh pada pengembangan paru dan mobilisasi sekret jalan nafas.
c.) Sistem kardiovaskuler
Mulai dikaji dari warna konjungtiva, warna bibir, ada tidaknya peninggian vena jugularis dengan auskultasi dapat dikaji bunyi jantung pada daerah dada dan pengukuran tekanan darah dengan palpasi dapat dihitung frekuensi denyut nadi.
d.) Sistem pencernaan
Yang dikaji meliputi keadaan mulut, gigi, bibir, lidah, nafsu makan, peristaltik usus dan bab. Tujuan pengkajian ini untuk mengetahui secara dini penyimpangan dari sistem ini.
e.) Sisten genitourinaria
Dapat dikaji ada tidaknya pembengkakan dan nyeri pada daerah pinggang, observasi dan palpasi daerah pinggang, observasi dan palpasi daerah abdomen bawah untuk mengetahui adanya retensi urine dan kaji tentang alat genitourinaria bagian luar mengenai bentuk ada tidaknya nyeri benjolan serta bagaimana pengeluaran urinenya lancar atau ada nyeri waktu miksi, ada nyeri atau tidak serta bagaimana warna urine.
f.) Sistem muskuloskeletal
Yang perlu dikaji pada sistem ini adalah derajat range of motion dari pergerakan sendi mulai dari kepala sampai anggota gerak bawah, adanya nyeri yang dilaporkan waktu bergerak, toleransi klien waktu bergerak, observasi adanya luka pada otot akibat fraktur terbuka. Selain ROM tonus dan kekuatan otot konus dikaji juga, karena klien dengan immobilisasi biasanya tonus otot dan kekuatannya menurun.
g.) Sistem integumen
Yang perlu dikaji adalah keadaan kulitnya, rambut dan kuku, pemeriksaan kulit meliputi tekstur, kelembaban turgor, warna dan fungsi perabaan.
h.) Sistem neurosensori
Sistem neurosensori yang dikaji adalah fungsi serebral, fungsi kranial, fungsi sensori serta fungsi refleks.
4.) Pola aktivitas sehari-hari
Pola aktivitas sehari-hari pada klien fraktur meliputi frekuensi makan, jenis makanan, porsi makan, jenis dan kualitas minum dan kuantitas minum dan eliminasi yang meliputi BAB (frekuensi, warna, konsistensi) serta BAK (frekuensi, banyak urine yang keluar setiap hari dan warna urine). Personal hygiene (frekuensi mandi, gosok gigi, cuci rambut, serta memotong kuku), olahraga (frekuensi dan jenis) serta rekreasi (frekuensi dan tempat rekreasi).
5.) Data psikososial
Pengkajian yang dilakukan pada klien dengan immobilisasi pada dasarnya sama dengan pengkajian psikososial pada sistem lain yaitu mengenai konsep diri (gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran diri dan identitas diri) dan hubungan atau interaksi klien dengan anggota keluarganya maupun dengan lingkungan.
Pada klien yang fraktur dan diimobilisasi adanya perubahan konsep diri terjadi secara perlahan-lahan yang mana dapat dikenali melalui observasi terhadap adanya perubahan yang kurang wajar dalam status emosional. Perubahan tingkah laku, menurunnya kemampuan dalam pemecahan masalah dan perubahan status tidur.
6.) Data spiritual
Klien yang fraktur perlu dikaji tentang agama dan kepribadiannya, keyakinan, harapan serta semangat yang terkandung dalam diri klien merupakan aspek yang penting untuk kesembuhan penyakitnya.
7.) Data penunjang
a.) Studi diagnostik
Sinar rontgen digunakan untuk menentukan luasnya fraktur bone scane, termogram dan CT scane digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan.
b.) Studi laboratorium
Dengan pemeriksaan darah dan urine untuk mengetahui kadar alkali fosfate kalsium, kreatinin, dan fhosfat.

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah kesimpulan yang dibuat oleh perawat berdasarkan data yang terkumpul yang berupa rumusan respon klien terhadap masalah kesehatan yang aktual dan potensial serta faktor etiologi yang berkontribusi terhadap timbulnya masalah yang dihadapi serta perlu diatasi dengan tindakan intervensi keperawatan. Diagnosa keperawatan pada klien dengan fraktur cruris dextra 1/3 tengah terbuka grade IIIB terpasang fiksasi eksterna dengan fraktur.
1.) Nyeri berhubungan dengan fraktur.
2.) Resiko terjadinya infeksi sekunder berhubungan dengan adanya luka yang masih basah.
3.) Gangguan mobilitas fisik/aktivitas berhubungan dengan fraktur.
4.) Gangguan pemenuhan ADL personal hygiene berhubungan dengan kurangnya kemampuan merawat diri.
5.) Resiko terjadi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kurangnya pengembangan paru oleh immobilisasi.
6.) Resiko terjadinya trauma tambahan berhubungan dengan terputusnya integritas tulang.
7.) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan sirkulasi pada daerah tertekan.
8.) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi yang adekuat.
(Marilynn E. Doenges, 2000, Edisi III. EGC, Jakarta).

3. Perencanaan
Setelah perencanaan mengenai data klien terkumpul dan penjabaran tentang masalah-masalah klien serta kebutuhan klien telah diidentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah memenuhi kebutuhan tersebut. Perencanaan sesuai dengan masalah sebagai berikut :
1.) Nyeri berhubungan dengan fraktur.
Tujuan : Nyeri berkurang/hilang dengan kriteria : tidak mengeluh nyeri, ekspresi wajah ceria.
Tindakan keperawatan :
1.) Kaji lokasi dan karakteristik nyeri
Rasional : Untuk mengetahui asal dan kapan datangnya nyeri sehingga dapat diberikan tindakan yang tepat.
2.) Pertahankan imobilisasi secara efektif dengan tirah baring dan fiksasi.
Rasional : Mencegah pergerakan yang sering dari tulang yang patah sehingga tidak merangsang saraf.
3.) Mengatur posisi kaki dan luka tanpa mempengaruhi axis tulang.
Rasional : Aliran darah lancar sehingga menimbulkan rasa nyaman.
4.) Ajarkan tehnik relaksasi nafas dalam
Rasional : Menambah suplay O2 ke jaringan sehingga mengurangi ketegangan otot dan menurunkan ambang nyeri.
5.) Kolaborasi tim medik dengan pemberian analgetik.
Rasional : Analgetik menghambat reseptor nyeri sehingga tidak dipersepsikan.


2.) Resiko terjadinya infeksi sekunder berhubungan dengan adanya luka yang masih basah.
Tujuan : Luka sembuh dan tidak ada tanda-tanda infeksi.
Tindakan keperawatan :
1.) Observasi keadaan luka klien.
Rasional : Dapat mengetahui adanya infeksi dini.
2.) Monitor tanda-tanda vital.
Rasional : Memutuskan mata rantai kuman penyebab infeksi sehingga infeksi tidak terjadi
3.) Ganti balutan setiap hari dengan menggunakan balutan yang steril.
Rasional : Menjaga agar luka tetap bersih dan dapat mencegah terjadinya kontaminasi.
4.) Beri antibiotik sesuai dengan program pengobatan.
Rasional : Antibiotik membunuh kuman penyebab penyakit.
3.) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan immobilisasi.
Tujuan : Untuk mempertahankan kemampuan pergerakan fisik kriteria terpelihara posisi fungsional dan dapat menunjukkan cara melakukan pergerakan fisik.
Tindakan keperawatan :
1.) Kaji tingkat immobilisasi
Rasional : Mengetahui persepsi klien sampai dimana klien dapat melakukan imobilisasi.
2.) Bantu klien dengan melakukan range of motion positif pada ekstremitas yang sakit maupun yang tidak.
Rasional : Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang, mencegah kontaktur, atropi otot dan mempertahankan mobilitas sendi tulang.
3.) Dorong klien melakukan latihan isometrik untuk anggota badan yang tidak diimobilisasi.
Rasional : Membantu menggerakkan anggota badan serta dapat mempertahankan kekuatan dan massa otot.
4.) Kolaborasi dengan dokter/therapist untuk memungkinkan dilakukan rehabilitasi.
Rasional : Berguna dalam menggerakkan program latihan dan aktivitas secara individual.
4.) Gangguan pemenuhan ADL personal hygiene berhubungan dengan kurangnya kemampuan merawat diri.
Tujuan : Klien dapat melakukan personal hygiene secara mandiri.
Tindakan keperawatan :
1.) Kaji tingkat pengetahuan klien tentang pentingnya perawatan diri dalam keadaan fraktur.
Rasional : Akan tergambar sejauhmana klien mengetahui tentang perawatan diri.
2.) Bantu fasilitas klien dalam melakukan personal hygiene dengan mendekatkan alat yang dibutuhkan.
Rasional : Mendorong kemandirian klien dalam beraktivitas.
3.) He tentang pentingya mobilitas secara bertahap.
Rasional : Klien mengerti dan mau bekerja sama dalam proses perawatan.
5.) Resiko terjadinya gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kurangnya pengembangan paru oleh imobilisasi.
Tujuan : Tidak terjadi gangguan pertukaran gas dengan kriteria : sesak nafas tidak ada, pengembangan paru sempurna, tidak ada wheezing dan ronchi.
Tindakan keperawatan :
1.) Monitor usaha dan tingkat pernafasan.
Rasional : Tacypnea dan dyspnoe merupakan gejala awal ketidakcukupan pernafasan.
2.) Dengar bunyi nafas dan perhatikan pengembangan dada.
Rasional : Perubahan bunyi nafas serta adanya nafas yang berulang dapat menunjukkan adanya komplikasi pernafasan.
3.) Anjurkan dan bantu klien melakukan nafas dalam dan batuk.
Rasional : Meningkatkan ventilasi oksigen dan perfusi alveoli


4.) Rubah posisi tidur klien.
Rasional : Meningkatkan pengeluaran sekresi serta mengurangi kongesti pada daerah paru yang bebas.
5.) Perhatikan bila ada kegelisahan lethargi dan stupor dan keburukan tingkat kesadaran seperti hipoxemia dan acidosis.
6.) Resiko terjadinya trauma tambahan berhubungan dengan terputusnya integritas tulang.
Tujuan : Tidak terjadi trauma tambahan dengan kriteria : kestabilan dan kesinambungan fraktur tetap dipertahankan.
Tindakan keperawatan :
1.) Pertahankan posisi dan kedudukan gips spalk.
Rasional : Mencegah terjadinya pergeseran tulang, mengatasi tegangan otot dan memudahkan penyambungan tulang.
2.) Atur posisi klien supaya aksis tulang panjang dapat dipertahankan.
Rasional : Mengurangi komplikasi misalnya tertundanya pertumbuhan tulang/tidak menyatu.
3.) Periksa kedudukan gips spalk tiap hari.
Rasional : Letak gips spalk yang tepat mempercepat penyembuhan tulang.
4.) Kolaborasi tim medis untuk foto X-Ray.
Rasional : Dapat membuktikan pembentukan callus serta letak tulang.

7.) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan sirkulasi daerah tertekan.
Tujuan : Gangguan integritas kulit teratasi dengan kriteria : tidak ada rasa panas pada punggung dan bokong, kulit pinggang dan bokong tidak nyeri.
Tindakan keperawatan :
1.) Observasi daerah-daerah yang terkena.
Rasional : Memberi gambaran daerah yang decubitus serta tekanan kulit akibat spalk gips dan lain-lain.
2.) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan perasat.
Rasional : Tindakan yang penting untuk mencegah kontaminasi mikroba yang berpindah secara langsung dari tangan.
3.) Bersihkan luka decubitus dengan obat antiseptik.
Rasional : Mencegah berkembangnya kuman dalam luka.
4.) Pijat daerah tulang dan kulit yang mendapat tekanan dengan lotion.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi dan mencegah lecet pada kulit.
5.) Rubah posisi tidur dengan ganjalan bantal/kain pada posisi daerah tertekan.
Rasional : Mengurangi tekanan terus-menerus pada daerah tertentu.
8.) Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi yang adekuat.
Tujuan : Pemahaman klien terpenuhi dengan kriteria : tidak tentang penyakitnya, lebih kooperatif dalam prosedur tindakan.
Tindakan keperawatan :
1.) Jelaskan prosedur tindakan yang diberikan.
Rasional : Meningkatkan pemahaman klien sehingga dapat mengerti dengan tindakan dan lebih kooperatif.
2.) Jelaskan perlunya metode ambulasi yang tepat.
Rasional : Mencegah komplikasi yang memperlambat penyembuhan.
3.) Beri penguatan positif bila klien mau menjelaskan kembali tentang prosedur tindakan dan kondisi luka.
Rasional : Penguatan positif memberi motivasi dan meningkatkan semangat klien.

4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah perwujudan dari rencana keperawatan yang meliputi tindakan-tindakan yang telah direncanakan sebelumnya.
Dalam melaksanakan rencana tersebut harus diperlukan kerjasama dengan tim kesehatan yang lain, keluarga klien, dan klien sendiri.
Hal-hal yang perlu diperhatikan :
- Kebutuhan klien.
- Dasar-dasar dari tindakan.
- Kemampuan perseorangan, keahlian/keterampilan dan perawat.
- Sumber dari keluarga dan klien sendiri.
- Sumber dari instansi.

5. Evaluasi
Evaluasi adalah merupakan pengukuran dari keberhasilan rencana keperawatan dalam memenuhi kebutuhan klien. Tahap evaluasi merupakan kunci keberhasilan dalam menggunakan proses keperawatan.
Adapun evaluasi klien dengan fraktur cruris dextra 1/3 tengah terbuka grade IIIB dilakukan berdasarkan kriteria tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, dan asuhan keperawatan dinilai berhasil apabila dalam evaluasi terlibat pencapaian kriteria tujuan.

DAFTAR PUSTAKA

Barbara C. Long, 1996, Perawatan Medikal Bedah, volume 2, cetakan I EGC, Bandung.

Barbara Engram, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.

Budi Anna Keliat, SKp, MSC., 1994, Proses Keperawatan, EGC, Jakarta.

Chairuddin Rasjad, Ph.D. Prof November, Pengantar Ilmu Bedah Ortophedi, cetakan III penerbit : Lamumpatue, Makassar.

Marilynn E. Doenges, at all, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, edisi III, EGC, Jakarta.

Oswari E. September, 2000, Bedah dan Perawatannya, cetakan III, Jakarta.

Robert Priharjo, 1993, Perawatan Nyeri Untuk Paramedis, EGC, Jakarta.

Sylvia A. Price, 1995, Patofisiologi, jilid II, EGC, Jakarta.

Sylvia A. Price,2000, Kapita Selekta Kedokteran, edisi III, penerbit : FKUI, Jakarta.

Wim de Jong, 1997, Ilmu Ajar Bedah, edisi revisi, EGC, Jakarta.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

LAPORAN PENDAHULUAN SIROSIS HEPATIS By Udin

SIROSIS HEPATIS
1. Pengertian
Sirosis hepatis adalah penyakit hati yang menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul.
2. Etiologi
Etiologi yang diketahui penyebabnya :
a. Hepatitis virus tipe B dan C
b. Alkohol
c. Metabolik : Hemokromatosis, idiopatik, penyakit Wilson, defisiensi alpha I anti tripsin, galaktosemia, tirosinemia kongenital, DM, penyakit penimbunan glikogen.
d. Kolestatis kronik/sirosis billiar sekunder intra dan ekstrahepatik.
e. Obstruksi aliran vena hepatik.
Penyakit vena oklusif.
Sindrom budd chiari.
Perikarditis konstriktiva.
Payah jantung kanan.
f. Gangguan immunologis.
Hepatitis lupoid, hepatitis kronik aktif.
g. Toksik dan obat ; MTX, INH, Metil dopa.
h. Operasi pintas usus halus pada obesitas.
i. Malnutrisi, infeksi seperti : malaria, sistosomiasis.
Etiologi yang tidak diketahui penyebabnya dinamakan sirosis kriptogenik heterogenous.
3. Anatomi dan Fisiologi
Gambar : Struktur lobus hati. 5)
Keterangan gambar :
1. Kanalikuli billiaris
2. Sel uttoral (sel kuffer)
3. Sel-sel hati
4. Sinosoid
5. Ruang disse
6 Limfatik terminal
7 Pembuluh limfatik
8 Vena porta
9 Arteri hepatika
10 Duktus billiaris

Unit fungsional dasar hati adalah lobulus hati, yang berbentuk silindris dengan panjang beberapa millimeter dan berdiameter 0,8 sampai 2 mm . Hati manusia berisi 50.000 sampai 100.000 lobulus.
Lobulus hati yang ditunjukkan dalam (gambar) terbentuk mengelilingi sebuah vena sentralis yang mengalir ke vena hepatika dan kemudian ke vena cava. Lobulus sendiri dibentuk terutama dari banyak lempeng sel hepar yang memancar secara sentifugal dari vena sentralis seperti teruji roda. Masing-masing lempeng hepar tebalnya satu sampai dua sel, dan diantara sel yang berdekatan terdapat kanalikuli biliaris kecil yang mengalir ke duktus biliaris di dalam septum fibrosa yang memisahkan lobulus hati yang berdekatan.
Juga dalam septum terdapat venula porta kecil yang menerima darah terutama dari vena saluran pencernaan melalui vena porta. Dari venula ini darah mengalir ke sinusoid hepar gepeng dan bercabang yang terletak diantara lempeng-lempeng hepar dan kemudian ke vena sentralis. Dengan demikian sel hepar terus menerus terpapar dengan darah vena porta.
Selain vena porta, juga ditemukan arteriol hepar di dalam septum interlobularis. Arteriol ini menyuplai darah arteri ke jaringan septum diantara lobulus yang berdekatan, dan banyak arteriol kecil juga mengalir langsung ke sinusoid hati. Paling sering pada sepertiga jarak ke septum interlobularis.
Selain sel-sel hepar, sinusoid vena dilapisi oleh dua tipe sel yang lain 1) sel endotel khusus, 2) sel kuffer besar yang merupakan makrofag jaringan, yang mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus. Lapisan endotel dan sel hepar, terdapat ruang jaringan yang sangat sempit yang disebut ruang disse, Jutaan ruang disse kemudian menghubungkan pembuluh limfe di dalam septum interlobularis.
Fungsi hati :
1. Fungsi sistem vaskuler hepar.
- Aliran darah melalui hati.
- Tekanan dan tahanan dalam pembuluh hepatika.
- Fungsi penyimpanan hati.
- Aliran limfe yang sangat tinggi dari hati.
- Sistem makgrofag hepatik – fungsi pembersih darah hati.
2. Fungsi metabolik hati.
- Metabolisme karbohidrat
- Metabolisme lemak
- Metabolisme protein.
3. Berbagai fungsi metabolik hati yang lain.
- Penyimpanan vitamin.
- Hubungan antara hati dengan koagulasi darah.
- Penyimpanan besi.
- Pengeluaran atau ekskresi obat-obatan, hormon, dan zat lain oleh hati.
Fungsi utama hati
Fungsi Keterangan
Pembentukan dan ekskresi empedu.
Metabolisme garam empedu.
Metabolisme pigmen empedu
Metabolisme karbohidrat
- Glikogenesis
- Glikogenolisis
- Glukogenesis
Metabolisme protein
Sintesis protein
Pembentukan urea
Penyimpanan protein
Metabolisme lemak
- Ketogenesis
- Sintesis kolesterol
Penyimpanan lemak
Penyimpanan vitamin dan mineral
Metabolisme steroid
Detoksikasi
Ruang pengapung dan fungsi penyaring
Garam empedu penting untuk pencernaan dan absorbsi lemak dan vitamin yang larut dalam lemak di usus
Bilirubin, pigmen empedu utama, merupakan hasil akhir metabolisme pemecahan sel darah merah yang sudah tua proses konjugasinya berlangsung dalam hati dan dieksresi dalam empedu.
Hati memegang peranan penting dalam mempertahankan kadar glukosa darah normal dan menyediakan energi untuk tubuh. Karbohidrat disimpan dalam hati sebagai glikogen.
Protein serum yang disintesis oleh hati termasuk albumin serta alfa dan beta globulin (gama globulin tidak)
Faktor pembekuan darah yang disintesis oleh hati adalah fibrinogen (I), protrombin (II), dan faktor V, VII, VIII, IX, X vitamin K diperlukan sebagai kofaktor pada sintesis semua faktor ini kecuali faktor V.
Urea dibentuk semata-mata dalam hati dari NH3 yang kemudian di ekskresi dalam kemih dan faeces.
NH3 dibentuk dari deaminasi asam amino dan kerja bakteri usus terhadap asam amino.
Hidrolisis trigliserida, kolesterol, fospolipid, dan lipoprotein.
Hati memegang peranan utama pada sintesis kolesterol, sebagian besar diekskresi dalam empedu sebagai kolesterol atau asam kolat.
Vitamin yag larut lemak (A, D, E, K) disimpan dalam hati, juga vitamin B12 , tenbaga, dan besi.

Hati mengaktifkan dan mensekskresi aldosteron, glukokortikoid, estrogen, progesteron, dan testosteron.
Hati bertanggung jawab atas biotransformasi zat-zat berbahaya menjadi zat-zat yang tidak berbahaya.
Sinusoid hati merupakan depot darah yang mengalir kembali dari vena kava : kerja fagositik sel kuffer membuang bakteri dan debris dari darah.

4. Patogenesis.
Infeksi hepatitis viral tipe B/C menimbulkan peradangan sel hati. Peradangan ini menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas (hepatoseluler), terjadi kolaps lobulus hati dan ini memacu timbulnya jaringan parut disertai terbentuknya septa fibrosa difus dan nodul sel hati, walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologi sirosis hati sama atau hampir sama, septa bisa dibentuk dari sel retikulum penyangga yang kolaps dan berubah jadi parut. Jaringan parut ini dapat menghubungkan daerah porta dengan sentral.
Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan berbagai macam ukuran dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik dan gangguan aliran darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal. Hal demikian dapat pula terjadi pada sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama. Tahap berikutnya terjadi peradangan pada nekrosis pada sel duktules, sinusoid, retikulo endotel, terjadi fibrinogenesis dan septa aktif. Jaringan kolagen berubah dari reversible menjadi ireversibel bila telah terbentuk septa permanen yang aseluler pada daerah porta dan parenkim hati. Gambaran septa ini bergantung pada etiologi sirosis. Pada sirosis dengan etiologi hemokromatosis, besi mengakibatkan fibrosis daerah periportal, pada sirosis alkoholik timbul fibrosis daerah sentral. Sel limposit T dan makrofag menghasilkan limfokin dan monokin, mungkin sebagai mediator timbulnya fibrinogen. Mediator ini tidak memerlukan peradangan dan nekrosis aktif. Septal aktif ini berasal dari daerah porta menyebar ke parenkim hati.
5. Gambaran klinik
a. Gejala-gejala gastrointestinal yang tidak khas seperti anoreksia, mual muntah, dan diare.
b. Demam, berat badan menurun, lekas lelah.
c. Asites, hidrothoraks, dan edema.
d. Ikterus, kadang-kadang urine yang menjadi lebih tua warnanya atau kecoklatan.
e. Hepatomegali, bila telah lanjut hati dapat mengecil karena fibrosis.
f. Kelainan pembuluh darah seperti kolateral-kolateral di dinding abdomen dan toraks, kaput medusa, wasir, dan varises esopagus.
g. Kelainan endokrin yang merupakan tanda dari hiperestrogenisme yaitu :
1) Impotensi, atrofi testis, ginekomastia, hilangnya rambut aksila dan pubis.
2) Amenore, hiperpigmentasi areola mammae.
3) Spider nevi dan eritema
4) Hiperpigmentasi
5) Jari tabuh.3
6. Komplikasi
Bila penyakit sirosis hepatis berlanjut progresif maka gambaran klinis prognosis dan pengobatan tergantung pada dua kelompok besar komplikasi :
a. Kegagalan hati (hepatoseluler)
b. Hipertensi portal
1) Kegagalan hati, timbul spider nevi, eritema palmaris, atrofi testis ginekomastia, ikterus, ensepalopati dan lain-lain.
Timbul asites akibat hipertensi portal dengan hipoalbumin akibat kegagalan hati
2) Hipertensi portal dapat menimbulkan splenomegali, pemekaran pembuluh vena esopagus/cardia, capur medusae, hemoroid, vena kolateral dinding perut.
Bila penyakit berlanjut maka dari kedua komplikasi tersebut dapat timbul berupa :
c. Asites
d. Ensefalopati
e. Peritonitis bakterial spontan
f. Sindrom hepatorenal
g. Transformasi ke arah kanker hati primer (hepatoma)
7. Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah.
HB rendah, anemia normokrom normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrosister, kolesterol darah yang selalu rendah mempunyai prognosa yang kurang baik.
b. Kenaikan kadar enzim transaminase/SGOT, SGPT tidak merupakan petunjuk tentang berat dan luasnya kerusakan parenkim hati. Kenaikan garamnya akibat kebocoran dari sel yang mengalami kerusakan.
c. Albumin.
Kadar albumin yang merendah merupakan cerminan kemampuan sel hati yang kurang.
d. Pemeriksaan CHE (kolinesterase) penting dalam menilai kemampuan sel hati. Bila terjadi kerusakan sel hati kadar CHE akan turun pada perbaikan terjadi kenaikan CHE menuju nilai normal < normal mempunyai prognosis yang jelek.
e. Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretik dan pembatasan garam dalam diet.
f. Pemanjangan masa protrombin merupakan petunjuk adanya penurunan fungsi hati. Pemberian vitamin K parenteral dapat memperbaiki masa protrombin.
Pemeriksaan hemostatik pada pasien sirosis hati penting dalam menilai kemungkinan perdarahan baik dari varises esopagus, gusi maupun epistaksis.
g. Peninggian kadar gula darah pada sirosis hati fase lanjut disebabkan kurangnya kemampuan sel hati membentuk glikogen. Kadar gula darah yang tetap meninggi menunjukkan prognosis yang kurang baik.
h. Pemeriksaan marker serologi pertanda virus seperti HBs Ag/HBs Ab, Hbe Ag/HBe Ab, HBV DNA, HCV RNA, adalah penting dalam menentukan etiologi sirosis hati.
8. Penatalaksanaan
a. Istirahat di tempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam.
b. Diet rendah protein (diet hati III protein 1gr/kg BB, 55 gr protein, 2.000 kalori). Bila ada asites diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau III (1.000-2000 mg). Bila proses tidak aktif diperlukan diet tinggi kalori (2.000-3000 kalori) dan tinggi protein (80-125 gr/hari).
Bila ada tanda-tanda prekoma atau koma hepatikum, jumlah protein dalam makanan dihentikan (diet hati II) untuk kemudian diberikan kembali sedikit demi sedikit sesuai toleransi dan kebutuhan tubuh. Pemberian protein yang melebihi kemampuan pasien atau meningginya hasil metabolisme protein, dalam darah viseral dapat mengakibatkan timbulnya koma hepatikum. Diet yang baik dengan protein yang cukup perlu diperhatikan.
c. Mengatasi infeksi dengan antibiotik diusahakan memakai obat-obatan yang jelas tidak hepatotoksik.
d. Mempebaiki keadaan gizi bila perlu dengan pemberian asam amino esensial berantai cabang dengan glukosa.
e. Roboransia. Vitamin B compleks. Dilarang makan dan minum bahan yang mengandung alkohol.
Penatalaksanaan asitesis dan edema adalah :
a. Istirahat dan diet rendah garam. Dengan istirahat dan diet rendah garam (200-500 mg perhari), kadang-kadang asitesis dan edema telah dapat diatasi. Adakalanya harus dibantu dengan membatasi jumlah pemasukan cairan selama 24 jam, hanya sampai 1 liter atau kurang.
b. Bila dengan istirahat dan diet tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan diuretik berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat ditingkatkan sampai 300 mg/hari bila setelah 3 – 4 hari tidak terdapat perubahan.
c. Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi medikamentosa yang intensif), dilakukan terapi parasentesis. Walupun merupakan cara pengobatan asites yang tergolong kuno dan sempat ditinggalkan karena berbagai komplikasinya, parasentesis banyak kembali dicoba untuk digunakan. Pada umunya parasentesis aman apabila disertai dengan infus albumin sebanyak 6 – 8 gr untuk setiap liter cairan asites. Selain albumin dapat pula digunakan dekstran 70 % Walaupun demikian untuk mencegah pembentukan asites setelah parasentesis, pengaturan diet rendah garam dan diuretik biasanya tetap diperlukan.
d. Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat badan 1 kg/hari. Hati-hati bila cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam suatu saat, dapat mencetuskan ensefalopati hepatik.

B. ASUHAN KEPERAWATAN
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan bio, psiko, sosio, spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat, baik yang sehat maupun yang sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Pelayanan keperawatan berupa bantuan, diberikan karena adanya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemauan menuju kepada kemampuan melaksanakan kehidupan sehari-hari secara mandiri.3
Di dalam memberikan asuhan keperawatan terdiri dari beberapa tahap atau langkah-langkah proses keperawatan yaitu pengkajian, perencanan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1 Pengkajian
Pengkajian dianggap sebagai dasar proses keperawatan yang kegiatannya bertujuan mengumpulkan informasi mengenai pasien, informasi tersebut akan menentukan kebutuhan dan masalah kesehatan keperawatan yang meliputi kebutuhan fisik, psikososial, dan lingkungan. Sebagai sumber informasi dapat digunakan yaitu pasien, keluarga, anak, saudara, teman, petugas kesehatan lainnya atau sumber data sekunder, metode pengumpulan data meliputi : pengkajian fisik, observasi, wawancara, riwayat keperawatan, survei rumah, dan masyarakat, analisis catatan, lap dokumentasi yang terkait.4
Pengkajian merupakan proses memilih dan membedakan yang memerlukan keputusan tentang relevansi data serta dasar pengetahuan yang kuat dan berbagai disiplin ilmu, sehingga dapat melakukan pengkajian yang benar, saksama dan komprehensif. Hasil proses pengkajian adalah data objektif & subjektif tentang klien.
Adapun pengkajian yang sistimatis meliputi 3 kegiatan yaitu :
a. Pengumpulan data
Data yang berhubungan dengan kasus sirosis hepatis perlu dikaji sebagai berikut :
1) Biodata
(a) Identitas klien : Nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat, suku bangsa.
(b) Identitas penanggung : Nama umur, jenis kelamin, agama, alamat suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, hubungan keluarga.
2) Riwayat kesehatan sekarang
(a) Adanya nyeri epigastrium.
(b) Gejala awal biasanya anoreksia, dispepsia, nausea, muntah, flatulen.
3) Riwayat kesehatan sebelumnya
(a) Riwayat alkohol.
(b) Riwayat merokok.
(c) Riwayat DM.
(d) Riwayat toksis dan obat
4) Aspek-aspek lain yang berhubungan misalnya pola istirahat, aspek psikologis, sosial, dan spiritual.
5) Data-data pengkajian klien.
- Aktifitas/istirahat.
Gejala : kelemahan, kelelahan, terlalu lelah.
Tanda : letargi, penurunan massa otot/tonus.
- Sirkulasi
Gejala : Riwayat Gjk kronis, perikarditis, penyakit jantung, reumatik, kanker (malfungsi hati menimbulkan gagal hati).
Distrimia, bunyi jantung ekstra (S3, S4).
Dvj, vena abdomen distensi.
- Eliminasi
Gejala : Flatus.
Tanda : Distensi abdomen (hepatomegali, splenomegali, asites).
penurunan atau tidak ada bising usus.
Faeces warna tanah liat, melena.
Urin gelap, pekat.
- Makanan/cairan
Gejala : Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/tidak dapat menerima.
Mual, muntah.
Tanda : Penurunan berat badan atau peningkatan cairan penggunaan jaringan.
Edema umum pada jaringan.
Kulit kering.
Turgor buruk.
Ikterik, angioma spider.
Nafas berbau/fetor hepatikus, perdarahan gusi.
- Neuresensori
Gejala : Orang terdekat dapat melaporkan perubahan keperibadian, penurunan mental.
Tanda : Perubahan mental, bingung halusinasi, koma bicara lambat/tak jelas.
Asterik
- Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri tekan abdomen/nyeri kuadran atas.
Pruritus
Neuritis Perifer.
Tanda : Perilaku berhati-hati/distraksi.
Fokus pada diri sendiri.


- Pernapasan
Gejala : Dispnea
Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas tambahan.
Ekspansi paru terbatas (asites)
Hipoksia
- Keamanan
Gejala : Pruritus.
Tanda : Demam (lebih umum pada sirosis alkoholik)
Ikterik, ekimosis, petekia.
Angioma spider/teleangiektasis, eritema palmar.
- Seksualitas
Gejala : Gangguan menstruasi/impoten.
Tanda : Atrofi testis, ginekomastia, kehilangan rambut (dada, bawah lengan, pubis).
- Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Riwayat penggunaan alkohol jangka panjang/ penyalahgunaan, penyakit hati alkoholik.
Riwayat penyakit empedu, hepatitis, terpajan pada toksin, trauma hati, perdarahan GI atas, episode perdarahan varises esopageal, penggunaan obat yang mempengaruhi fungsi hati.
Pertimbangan : DRG menunjukkan rerata lama dirawat : 7,2 hari.
Rencana pengulangan : Mungkin memerlukan bantuan dengan tugas perawatan/pengaturan rumah.
Pemeriksaan diagnostik
- Skan/biopsi hati : Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati.
- Esofagoskopi : Dapat menunjukkan adanya varises esopagus.
- Portografi transhepatik perkutaneus : Memperlihatkan sirkulasi sistem vena portal.
- Bilirubin serum : Meningkat karena gangguan seluler, ketidakmampuan hati untuk mengkonjugasi atau obstruksi billier.
- SGOT, SGPT, LDH : Meningkat karena kerusakan seluler dan mengeluarkan enzim.
- Alkalin fosfatase : Meningkat karena penurunan ekskresi.
- Albumin serum.
- Globulin C Ig A & Ig G : Peningkatan sintesis.
- Fibrinogen : Menurun
- BUN : Meningkat menunjukkan kerusakan darah/protein.
- merubah di amonia menjadi urea.
- Glukosa serum : Hipoglikemia diduga mengganggu glikogenesis.
- Kalsium : Mungkin menurun sehubungan dengan gangguan absorbsi vitamin D.
- Uribilinogen fecal : Menurunkan ekskresi.
b. Klasifikasi data.
Setelah melaksanakan pengumpulan data secara berkesinambungan baik data fisik, psikologis, sosial, dan spiritual, maka data tersebut diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Data subjektif
- Nyeri tekan abdomen
- Lemah
- Anoreksia
- Mual, muntah

2) Data objektif
- Penurunan massa otot/tonus
- Distensi abdomen
- Penurunan bising usus
- Melena
- Urin gelap
- Penurunan BB
- Edema umum pada jaringan
- Kulit kering
- Turgor buruk
- Ikterik
- Demam
c. Analisa data.
Setelah data diklasifikasikan, kemudian dilanjutkan dengan analisa data untuk mencari penyebab dan masalah yang mungkin terjadi.
d. Diagnosa keperawatan.
Menurut H. Lismidar dkk, dalam buku Proses Keperawatan penerbit Universitas Indonesia (UI-pres) tahun 1990 halaman 12. Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan yang jelas tentang masalah pasien, yang dapat diatasi dengan tindakan keperawatan, diagnosa keperawatan ditetapkan berdasarkan analisis dan interpretasi data yang diperoleh melalui pengkajian data.
Adapun diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan dengan gangguan sistem pencernaan pada kasus sirosis hati :
1) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah.
2) Perubahan volume cairan (kelebihan) berhubungan dengan kelebihan natrium atau masukan cairan.
3) Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan turgor kulit buruk, penonjolan tulang, adanya edema, asites.
4) Resiko terhadap pola napas tidak efektif berhubungan dengan asites.
5) Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan hipertensi portal.
6) Resiko tinggi terhadap proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis (Peningkatan kadar amonia serum, ketidakmampuan hati untuk detoksikasi enzim).
7) Gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan peran fungsi.
8) Kurang pengetahuan berhubungan dengan informasi tidak adekuat.
e. Perencanaan
Perencanaan perawatan adalah penentuan apa yang akan dilaksanakan untuk membantu memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalah keperawatan dan tindakan keperawatan serta rasional dari tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan.
1) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah.
Tujuan : Tidak mengalami malnutrisi lebih lanjut.
Intervensi :
(a) Ukur masukan diet harian dengan jumlah kalori.
Rasional : Memberikan informasi tentang kebutuhan pemasukan/defisiensi.
(b) Berikan makan sedikit dan sering.
Rasional : Buruknya toleransi terhadap makan banyak, mungkin berhubungan dengan peningkatan tekanan intra abdomen/asites.
(c) Berikan makanan halus, hindari makanan kasar sesuai indikasi.
Rasional : Perdarahan dari varises esopagus dapat terjadi pada sirosis berat.
(d) Anjurkan menghentikan merokok.
Rasional : Menurunkan rangsangan gaster berlebihan dan resiko iritasi/perdarahan.
2) Perubahan volume cairan (kelebihan) berhubungan dengan natrium/masukan cairan.
Tujuan : Menunjukkan volume cairan stabil berhubungan dengan kelebihan natrium/masukan cairan.
Intervensi :
(a) Ukur pemasukan dan pengeluaran.
Rasional : Menunjukkan status volume sirkulasi.
(b) Observasi tekanan darah.
Rasional : Peningkatan tekanan darah biasanya berhubungan dengan volume cairan.
(c) Dorong untuk tirah baring bila ada asites
Rasional : Dapat meningkatkan posisi rekumben untuk diuresis.
(d) Berikan perawatan mulut, kadang beri es batu.
Rasional : Menurunkan rasa haus.


3) Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan turgor kulit buruk, adanya edema asites.
Tujuan : Mengidentifikasikan faktor resiko dan menunjukkan teknik untuk mencegah kerusakan kulit.
Intervensi :
(a) Ubah posisi pada jadwal teratur.
Rasional : Perubahan posisi menurunkan tekanan pada jaringan edema untuk memperbaiki sirkulasi.
(b) Tinggikan ekstremitas bawah.
Rasional : Meningkatkan aliran balik vena & menurunkan edema pada ekstremitas.
(c) Pertahankan sprei kering dan bebas lipatan.
Rasional : Kelembaban meningkatkan pruritus dan meningkatkan resiko kerusakan kulit.
(d) Gunting kuku jari hingga pendek, berikan sarung tangan bila diindikasikan
Rasional : Mencegah dari cedera.
4) Resiko tinggi terhadap pola napas tidak efektif berhubungan dengan asites.
Tujuan : Mempertahankan pola napas efektif.
Intervensi :
(a) Kaji frekuensi, kedalaman, dan daya upaya pernapasan.
Rasional : Pernapasan cepat dan dangkal mungkin sehubungan dengan hipoxia dan akumulasi cairan dalam abdomen.
(b) Auskultasi bunyi napas, mengi, ronchi.
Rasional : Menunjukkan terjadinya komplikasi.
(c) Ubah posisi dengan sering ; dorong napas dalam, latihan batuk secara efektif.
Rasional : Membantu ekspansi paru dan mobilisasi sekret.
(d) Awasi suhu ; catat adanya menggigil.
Rasional : Menunjukkan timbulnya infeksi.
5) Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan hipertensi portal.
Tujuan : Mempertahankan homeostatis dengan tanpa perdarahan.
Intervensi :
(a) Kaji adanya tanda-tanda dan gejala perdarahan G.I.
Rasional : Traktus Gastro Intestinal paling biasa sumber perdarahan sehubungan dengan mukosa yang rusak.
(b) Awasi nadi, TD, dan CVP bila ada.
Rasional : Dapat menunjukkan adanya kehilangan volume darah sirkulasi, memerlukan evaluasi lanjut.
(c) Gunakan jarum kecil untuk injeksi, tekan lebih lama bagian suntikan.
Rasional : Meminimalkan kerusakan jaringan, menurunkan resiko perdarahan.
(d) Hindarkan penggunaan produk yang mengandung aspirin.
Rasional : Koagulasi memanjang, berpotensi untuk resiko perdarahan.
6) Resiko tinggi terhadap perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis.
Tujuan : Mempertahankan tingkat mental/orientasi kenyataan.
Intervensi :
(a) Catat terjadinya/adanya asterik, fetor hepatikum, aktivitas kejang.
Rasional : Menunjukkan peningkatan kadar amonia serum, peningkatan resiko berlanjutnya ensefalopati.
(b) Konsul pada orang terdekat tentang perilaku umum/mental pasien.
Rasional : Memberikan dasar untuk perbandingan dengan status saat ini.
(c) Orientasikan kembali pada waktu, tempat, orang sesuai kebutuhan.
Rasional : Membantu dalam mempertahankan orientasi kenyataan, menurunkan bingung/ansietas.
(d) Pertahankan tirah baring, bantu aktifitas perawatan diri.
Rasional : Menurunkan kebutuhan metabolik hati.


7) Gangguan harga diri berhubungan dengan prubahan peran fungsi.
Tujuan : Menyatakan pemahaman akan perubahan dan penerimaan diri pada situasi yang ada.
Intervensi :
(a) Dorong keluarga untuk menyatakan perasaan berkunjung/ berpartisipasi pada perawatan.
Rasional : Partisipasi pada perawatan membantu mereka merasa berguna.
(b) Dukung dan dorong pasien, berikan perawatan positif.
Rasional : Pemberian perawatan kadang-kadang memungkinkan penilaian perasaan untuk mempengaruhi perawatan pasien.
(c) Diskusikan situasi/masalah, jelaskan hubungan antara gejala dengan asal penyakit.
Rasional : Pasien sangat sensitif terhadap perubahan tubuh dan juga mengalami perasaan bersalah bila penyebab berhubungan dengan alkohol.
(d) Bantu pasien/orang terdekat untuk mengatasi perubahan pada penampilan.
Rasional : Pasien dapat menunjukkan penampilan kurang menarik sehubungan dengan ikterik, asites. Beri dorongan untuk meningkatkan harga diri.
8) Kurang pengetahuan berhubungan dengan informasi tidak adekuat.
Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakitnya.
Intervensi :
(a) Kaji ulang proses penyakit/prognosis dan harapan yang akan datang.
Rasional : Memberikan dasar pengetahuan pada pasien yang dapat membuat pilihan informasi.
(b) Tekankan pentingnya menghindari alkohol
Rasional : Karena alkohol menyebabkan terjadinya sirosis.
(c) Informasikan pasien tentang efek gangguan karena obat pada sirosis dan pentingnya penggunaan obat hanya yang diresepkan.
Rasional : Beberapa obat bersifat hepatotoksik selain itu kerusakan hati telah menurunkan kemampuan metabolisme obat, meningkatkan kecenderungan perdarahan.
f. Pelaksanaan/Implemetasi
Pelaksanaan keperawatan/implementasi harus sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya dan pelaksanaan ini disesuaikan dengan masalah yang terjadi. Dalam pelaksanaan keperawatan ada 4 tindakan yang dilakukan yaitu :
1.) Tindakan mandiri
2.) Tindakan observasi
3.) Tindakan health education
4.) Tindakan kolaborasi

g. Evaluasi
Tahapan evaluasi merupakan proses yang menentukan sejauh mana tujuan dapat dicapai, sehingga dalam mengevaluasi efektivitas tindakan keperawatan. Perawat perlu mengetahui kriteria keberhasilan dimana kriteria ini harus dapat diukur dan diamati agar kemajuan perkembangan keperawatan kesehatan klien dapat diketahui Dalam evaluasi dapat dikemukakan 4 kemungkinan yang menentukan keperawatan selanjutnya yaitu :
1.) Masalah klien dapat dipecahkan .
2.) Sebagian masalah klien dapat dipecahkan.
3.) Masalah klien tidak dapat dipecahkan.
4.) Dapat muncul masalah baru.
Evaluasi untuk klien dengan sirosis hepatis dapat disesuaikan dengan masalah yang telah ditanggulangi dengan mengacu pada tujuan yang telah ditentukan.
1.) Apakah tidak menunjukkan perubahan nutrisi?.
2.) Apakah tidak menunjukkan perubahan volume cairan?.
3.) Apakah resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit tidak terjadi?.
4.) Apakah rsiko tinggi terhadap pola napas tidak efektif tidak terjadi?.
5.) Apakah resiko tinggi terhadap cedera tidak terjadi?.
6.) Apakah resiko tinggi terhadap perubahan proses pikir tidak terjadi?.
7.) Apakah gangguan harga diri teratasi?.

DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer Dkk, Kapita Selekta Kedokteran Jilid I Edisi Ketiga FK. UI 1999 Hal 508-509.

Guyton dan Hall, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9 Jakarta Tahun 1997 Hal 1103-1107.

Lismider, H Dkk, Dalam Buku Proses Keperawatan, UT Press Tahun 1990 Hal 12.

Lynda Juall Corpenito, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan Edisi 2 Jakarta 1999 Hal 136 - 142.

Marilynn E. Doenges Dkk, Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3 Jakarta Hal 544 - 557.

Sjaifullah Noer, H. M, Prof, Dr, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta Tahun 1996. Hal 271 - 279.

Sylvia A. Price, Larraine M. Wilson, Patofisiologi Edisi 4 Jilid I Tahun 1995. Hal 426 - 450.

Tien Gartinah Mn, Ratna Siturus, M, APP SC, Dewi Irawati, Ma. Keperawatan dan Praktek Keperawatan, Jakarta. 1999. Hal 4.

Tim Departemen Kesehatan RI. Konsep dan Proses Keperawatan, Buku I Jakarta 1991 Hal 17.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

LAPORAN PENDAHULUAN STRUMA By udin

STRUMA NODOSA NON TOKSIK
1. Pengertian struma nodosa non toksik
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme.
(Sri Hartini, Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, hal. 461, FKUI, 1987).

2. Anatomi fisiologi kelenjar tyroid
a. Anatomi
Kelenjar tyroid terdiri dari dua lobus yang berkapsul, yang terletak di sebelah kanan dan kiri trakea. Kedua lobus dihubungkan oleh isthmus yang menyilang trakea sedikit di bawah kartilago krikoid. Berat kelenjar tyroid normal pada orang dewasa adalah sekitar 15 – 20 gram. Setiap lobus mempunyai diameter vertikal 2 – 3 cm dan tebal 1 cm. Volume kelenjar tyroid dapat diperkirakan antara 10 – 30 cm pada orang normal.
b. Fisiologi
Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu tiroksin (T4). Bentuk aktif hormon T4. bentuk aktif ini adalah trydotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4, di perifer dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tyroid. Kelenjar tyroid terdiri dari folikel-fiolikel yang berisi larutan koloid. Hormon ini merangsang penggunaan O2 pada kebanyakan sel tubuh, mengatur metabolisme lemak, hidrat arang dan sangat diperlukan untuk pertumbuhan. Fungsi kelenjar tyroid dipengaruhi oleh TSH (tyroid stimulating hormon) dari hipofisis anterior. Apabila TSH menurun dapat terjadi atropi tyroid dan apabila TSH meningkat, hormon tyroid juga meningkat yang kemudian melalui mekanisme feed back akan menekan fungsi hypofisis. Sebaliknya apabila hormon tyroid berkurang akan merangsang hypofisis untuk mengeluarkan TSH lebih banyak. Oleh karena itu apabila hormon tyroid berkurang akan mengakibakan hyperplasia dan pembesaran kelenjar tyroid. Proses hyperplasia cenderung lokal dan tersebar, sehingga menimbulkan benjolan-benjolan (noduli).

3. Etiologi
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid merupakan faktor penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain :
a. Defisiensi iodium
Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah yang kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya daerah pegunungan.
b. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid.


c. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol, lobak, kacang kedelai).
d. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya : thiocarbamide, sulfonylurea dan litium).

4. Patofisiologi
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tyroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimuler oleh TSH kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul yoditironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi TSH dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid.

5. Gejala-gejala
Pada penyakit struma nodosa nontoksik tyroid membesar dengan lambat. Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin. Jika struma cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada respirasi dan juga esofhagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan.

6. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan atas dasar adanya struma yang bernodul dan tidak toksik, melalui :
a. Pada palpasi teraba batas yang jelas, bernodul satu atau lebih, konsistensinya kenyal.
b. Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan serum T4 (troksin) dan T3 (triyodotironin) dalam batas normal.
c. Pada pemeriksaan USG (ultrasonografi) dapat dibedakan padat atau tidaknya nodul.
d. Kepastian histologi dapat ditegakkan melalui biopsi yang hanya dapat dilakukan oleh seorang tenaga ahli yang berpengalaman.

7. Penatalaksanaan
a. Pencegahan
Dengan pemberian kapsul minyak beriodium terutama bagi penduduk di daerah endemik sedang dan berat.
Edukasi
Program ini bertujuan merubah prilaku masyarakat, dalam hal pola makan dan memasyarakatkan pemakaian garam beriodium.

Penyuntikan lipidol
Sasaran penyuntikan lipidol adalah penduduk yang tinggal di daerah endemik diberi suntikan 40 % tiga tahun sekali dengan dosis untuk orang dewasa dan anak di atas enam tahun 1 cc, sedang kurang dari enam tahun diberi 0,2 cc – 0,8 cc.
b. Tindakan operasi
Pada struma nodosa non toksik yang besar dapat dilakukan tindakan operasi bila pengobatan tidak berhasil, terjadi gangguan misalnya : penekanan pada organ sekitarnya, indikasi, kosmetik, indikasi keganasan yang pasti akan dicurigai.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan, penulis menggunakan pedoman asuhan keperawatan sebagai dasar pemecahan masalah pasien secara ilmiah dan sistematis yang meliputi tahap pengkajian, perencanaan keperawatan, tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari dasar dalam proses keperawatan secara keseluruhan guna mendapat data atau informasi yang dibutuhkan untuk menentukan masalah kesehatan yang dihadapi pasien melalui wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik meliputi :
a. Aktivitas/istirahat
Data subyektif : insomnia, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan berat.
Data obyektif : atrofi otot.
b. Eliminasi
Data subyektif : urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam faeces, diare.
c. Integritas ego
Data subyektif : mengalami stres yang berat baik emosional maupun fisik.
Data obyektif : emosi labil, depresi.
d. Makanan/cairan
Data subyektif : kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan meningkat, makan banyak, makannya sering, kehausan, mual dan muntah.
Data obyektif : pembesaran tyroid, goiter.
e. Rasa nyeri/kenyamanan
Data subyektif : nyeri orbital, fotofobia.
f. Pernafasan
Data subyektif : frekuensi pernafasan meningkat, takipnea, dispnea, edema paru (pada krisis tirotoksikosis).


g. Keamanan
Data subyektif : tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium (mungkin digunakan pada pemeriksaan).
Data obyektif : suhu meningkat di atas 37,40C, diaforesis, kulit halus, hangat dan kemerahan, rambut tipis, mengkilat dan lurus, eksoptamus : retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi pada pretibial) yang menjadi sangat parah.
h. Seksualitas
Data subyktif : libido menurun, perdarahan sedikit atau tidak sama sekali, impotensi.
Setelah kseluruhan data terkumpul, selanjutnya dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu :
a. Data subyektif
Data subyektif mencakup gangguan koordinasi insomnia, perubahan pola eliminasi, kemampuan untuk menangani tekanan-tekanan (stress), penurunan berat badan, nafsu makan meningkat, nyeri orbital, frekuensi pernafasan meningkat, daya penyesuaian terhadap panas dan dingin, libido menurun.
b. Data obyektif
Hal ini ditandai dengan adanya atropi otot, emosi labil, depresi, pembesaran tiroid, goiter, peningkatan suhu di atas 37,40 C, diaphoresis, sifat dan ciri-ciri tubuh, keadaan rambut termasuk kualitasnya serta keadaan mata.
Langkah selanjutnya adalah penentuan diagnosa keperawatan yang merupakan suatu pernyataan dan masalah pasien secara nyata maupun potensial berdasarkan data yang terkumpul. Diagnosa keperawatan pada pasien dengan struma nodosa nontoksis khususnya post operai dapat dirumuskan sebagai berikut ;
a. Resiko tinggi terjadi ketidakefektivan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi trakea, pembengkakan, perdarahan dan spasme laringeal, ditandai dengan :
Data subyektif : sakit menelan, nyeri luka operasi.
Data obyektif : pernafasan cepat dan dalam, ada sekret/lendir.
b. Gamgguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara/kerusakan laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan, ditandai dengan :
Data subyektif : pembengkakan pada jaringan keronkongan, rasa nyeri pada luka, pasien tidak merasa nyaman, sakit menelan.
c. Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses pembedahan, rangsangan pada sistem saraf pusat, ditandai dengan :
Data subyektif : pernafasan cepat (takipnea), nyeri luka operasi.
Data obyektif : peningkatan suhu tubuh, takikardi, cyanosis, kejang, mati rasa, dan infeksi pada luka operasi.
d. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan dengan tindakan bedah terhadap jaringan/otot dan edema pasca operasi, ditandai dengan :
Data subyektif : bertanya, meminta informasi, pernyataan salah konsepsi.
Data obyektif : tidak mengikuti instruksi/terjadi komplikasi yang dapat dicegah.
2. Perencanaan keperawatan/intervensi
Perencanaan keperawatan adalah penyusunan rencana tindakan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah pasien sesuai diagnosa keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan utama memenuhi kebutuhan pasien. Berdasarkan diagnosa keperawatan yang diuraikan di atas, maka disusunlah rencana keperawatan/intervensi sebagai berikut :
a. Resiko tinggi terjadi ketidakefektivan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi trakea, pembengkakan, perdarahan dan spasme laryngeal, ditandai dengan :
- Data subyektif : sakit menelan, nyri luka operasi.
- Data obyektif : pernafasan cepat dan dalam, ada sekret/lendir yang kental di kerongkongan, dyspnoe, stridor, cyanosis.
Tujuan yang ingin dicpai sesuai kriteria hasil :
- Mempertahankan jalan nafas paten dengan mencegah aspirasi.
Rencana tindakan/intervensi
1.) Pantau frekuensi pernafasan, kedalaman dan kerja pernafasan.
Rasional :
Pernafasan secara normal kadang-kadang cepat, tetapi berkembangnya distres pada pernafasan merupakan indikasi kompresi trakea karena edema atau perdarahan.
2.) Auskultasi suara nafas, catat adanya suara ronchi.
Rasional :
Ronchi merupakan indikasi adanya obstruksi.spasme laringeal yang membutuhkan evaluasi dan intervensi yang cepat.
3.) Kaji adanya dispnea, stridor, dan sianosis. Perhatikan kualitas suara.
Rasional :
Indikator obstruksi trakea/spasme laring yang membutuhkan evaluasi dan intervensi segera.
4.) Waspadakan pasien untuk menghindari ikatan pada leher, menyokog kepala dengan bantal.
Rasional :
Menurunkan kemungkinan tegangan pada daerah luka karena pembedahan.
5.) Bantu dalam perubahan posisi, latihan nafas dalam dan atau batuk efektif sesuai indikasi.
Rasional :
Mempertahankan kebersihan jalan nafas dan evaluasi. Namun batuk tidak dianjurkan dan dapat menimbulkan nyeri yang berat, tetapi hal itu perlu untuk membersihkan jalan nafas.
6.) Lakukan pengisapan lendir pada mulut dan trakea sesuai indikasi, catat warna dan karakteristik sputum.
Rasional :
Edema atau nyeri dapat mengganggu kemampuan pasien untuk mengeluarkan dan membersihkan jalan nafas sendiri.
7.) Lakukan penilaian ulang terhadap balutan secara teratur, terutama pada bagian posterior
Rasional :
Jika terjadi perdarahan, balutan bagian anterior mungkin akan tampak kering karena darah tertampung/terkumpul pada daerah yang tergantung.
8.) Selidiki kesulitan menelan, penumpukan sekresi oral.
Rasional :
Merupakan indikasi edema/perdarahan yang membeku pada jaringan sekitar daerah operasi.
9.) Pertahankan alat trakeosnomi di dekat pasien.
Rasional :
Terkenanya jalan nafas dapat menciptakan suasana yang mengancam kehidupan yang memerlukan tindakan yang darurat.
10.) Pembedahan tulang
Rasional :
Mungkin sangat diperlukan untuk penyambungan/perbaikan pembuluh darah yang mengalami perdarahan yang terus menerus.
b. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara/kerusakan saraf laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan, ditandai dengan :
- Data subyektif : pembengkakan pada jaringan kerongkongan, rasa nyeri pada luka, pasien tidak merasa nyaman, sakit menelan.
- Data obyektif : tidak dapat berbicara, menggunakan bahasa isyarat.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :
- Mampu menciptakan metode komunikasi dimana kebutuhan dapat dipahami.
Rencana tindakan/intervensi
1.) Kaji fungsi bicara secara periodik.
Rasional :
Suara serak dan sakit tenggorok akibat edema jaringan atau kerusakan karena pembedahan pada saraf laringeal yang berakhir dalam beberapa hari kerusakan saraf menetap dapat terjadi kelumpuhan pita suara atau penekanan pada trakea.
2.) Pertahankan komunikasi yang sederhana, beri pertanyaan yang hanya memerlukan jawaban ya atau tidak.
Rasional :
Menurunkan kebutuhan berespon, mengurangi bicara.
3.) Memberikan metode komunikasi alternatif yang sesuai, seperti papan tulis, kertas tulis/papan gambar.
Rasional :
Memfasilitasi eksprsi yang dibutuhkan.
4.) Antisipasi kebutuhan sebaik mungkin. Kunjungan pasien secara teratur.
Rasional ;
Menurunnya ansietas dan kebutuhan pasien untuk berkomunias.
5.) Beritahu pasien untuk terus menerus membatasi bicara dan jawablah bel panggilan dengan segera.
Rasional :
Mencegah pasien bicara yang dipaksakan untuk menciptakan kebutuhan yang diketahui/memerlukan bantuan.
6.) Pertahankan lingkungan yang tenang.
Rasional :
Meningkatkan kemampuan mendengarkan komunikasi perlahan dan menurunkan kerasnya suara yang harus diucapkan pasien untuk dapat didengarkan.
c. Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses pembedahan, rangsangan pada sistem saraf pusat, ditandai dengan :
- Data subyektif : pernafasan cepat (takipnea), nyeri luka operasi.
- Data obyektif : peningkatan suhu tubuh, tachicardi, cyanosis, kejang, mati rasa dan infeksi pada luka operasi.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :
- Menunjukkan tidak ada cedera dengan komplikasi terpenuhi/terkontrol.
Rencana tindakan/intervensi
1.) Pantau tanda-tanda vital dan catat adanya peningkatan suhu tubuh, takikardi (140 – 200/menit), disrtrimia, syanosis, sakit waktu bernafas (pembengkakan paru).
Rasional :
Manipulasi kelenjar selama pembedahan dapat mengakibatkan peningkatan pengeluaran hormon yang menyebabkan krisis tyroid.
2.) Evaluasi reflesi secara periodik. Observasi adanya peka rangsang, misalnya gerakan tersentak, adanya kejang, prestesia.
Rasional :
Hypolkasemia dengan tetani (biasanya sementara) dapat terjadi 1 – 7 hari pasca operasi dan merupakan indikasi hypoparatiroid yang dapat terjadi sebagai akibat dari trauma yang tidak disengaja pada pengangkatan parsial atau total kelenjar paratiroid selama pembedahan.
3.) Pertahankan penghalang tempat tidur/diberi bantalan, tmpat tidur pada posisi yang rendah.
Rasional :
Menurunkan kemungkinan adanya trauma jika terjadi kejang.
4.) Memantau kadar kalsium dalam serum.
Rasional :
Kalsium kurang dari 7,5/100 ml secara umum membutuhkan terapi pengganti.
5.) Kolaborasi
Berikan pengobatan sesuai indikasi (kalsium/glukonat, laktat).
Rasional ;
Memperbaiki kekurangan kalsium yang biasanya sementara tetapi mungkin juga menjadi permanen.
d. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan tindakan bedah terhadap jaringan/otot dan paska operasi ditandai dengan :
- Data subyektif : nyeri luka operasi, sakit menelan.
- Data obyektif : lendir kental di kerongkongan, edema sekitar luka operasi.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :
- Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol. Menunjukkan kemampuan mengadakan relaksasi dan mengalihkan perhatian dengan aktif sesuai situasi.
Rencana tindakan/intervensi :
1.) Kaji tanda-tanda adanya nyeri baik verbal maupun non verbal, catat lokasi, intensitas (skala 0 – 10) dan lamanya.
Rasional :
Bermanfaat dalam mengevaluasi nyeri, menentukan pilihan intervensi, menentukan efektivitas terapi.
2.) Letakkan pasien dalam posisi semi fowler dan sokong kepala/leher dengan bantal pasir/bantal kecil.
Rasional :
Mencegah hiperekstensi leher dan melindungi integritas gari jahitan.
3.) Pertahankan leher/kepala dalam posisi netral dan sokong selama perubahan posisi. Instruksikan pasien menggunakan tangannya untuk menyokong leher selama pergerakan dan untuk menghindari hiperekstensi leher.

Rasional :
Mencegah stress pada garis jahitan dan menurunkan tegangan otot.
4.) Letakkan bel dan barang yang sering digunakan dalam jangkauan yang mudah.
Rasional :
Membatasi ketegangan, nyeri otot pada daerah operasi.
5.) Berikan minuman yang sejuk/makanan yang lunak ditoleransi jika pasien mengalami kesulitan menelan.
Rasional :
Menurunkan nyeri tenggorok tetapi makanan lunak ditoleransi jika pasien mengalami kesulitan menelan.
6.) Anjurkan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi, seperti imajinasi, musik yang lembut, relaksasi progresif.
Rasional :
Membantu untuk memfokuskan kembali perhatian dan membantu pasien untuk mengatasi nyeri/rasa tidak nyaman secara lebih efektif.
7.) Kolaborasi
Beri obat analgetik dan/atau analgetik spres tenggorok sesuai kebutuhannya.
8.) Berikan es jika ada indikasi
Rasional :
Menurunnya edema jaringan dan menurunkan persepsi terhadap nyeri.
e. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, prognosis dan kebutuhan tindakan berhubungan dengan tidak mengungkapkan secara terbuka/mengingat kembali, setelah menginterpretasikan konsepsi.
- Data subyektif : bertanya, meminta informasi, pernyataan salah konsepsi.
- Data obyektif : tidak mengikuti instruksi, terjadinya komplikasi yang dapat dicegah.

Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :
- Adanya saling pengertian tentang prosedur pembedahan dan penanganannya, berpartisipasi dalam program pengobatan, melakukan perubahan gaya hidup yang perlu.
Rencana tindakan/intervensi :
1.) Tinjau ulang prosedur pembedahan dan harapan selanjutnya.
Rasional ;
Member pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat keputusan sesuai informasi.
2.) Diskusikan kebutuhan diet yang seimbang, diet bergizi dan bila dapat mencakup garam beriodium.
Mempercepat penyembuhan dan membantu pasien mencapai berat badan yang sesuai dengan pemakaian garam beriodium cukup.
3.) Hindari makanan yang bersifat gastrogenik, misalnya makanan laut yang berlebihan, kacang kedelai, lobak.
Rasional :
Merupakan kontradiksi setelah tiroidiktomi sebab makanan ini menekan aktivitas tyroid.
4.) Identifikasi makanan tinggi kalsium (misalnya : kuning telur, hati)
Rasional :
Memaksimalkan suplay dan absorbsi jika fungsi kelenjar paratiroid terganggu.
5.) Dorong program latihan umum progresif
Rasional :
Latihan dapat menstimulasi kelenjar tyroid dan produksi hormon yang memfasilitasi pemulihan kesejahteraan.
3. Pelaksanaan keperawatan
Pelaksanaan keperawatan merupakan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah dirumuskan dalam rangka memenuhi kebutuhan pasien secara optimal dengan menggunakan keselamatan, keamanan dan kenyamanan pasien. Dalam melaksanakan keperawatan, haruslah dilibatkan tim kesehatan lain dalam tindakan kolaborasi yang berhubungan dengan pelayanan keperawatan serta berdasarkan atas ketentuan rumah sakit.
4. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahapan terakhir dari proses keperawatan yang bertujuan untuk menilai tingkat keberhasilan dari asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Dari rumusan seluruh rencana keperawatan serta impelementasinya, maka pada tahap evaluasi ini akan difokuskan pada :
a. Apakah jalan nafas pasien efektif?
b. Apakah komunikasi verbal dari pasien lancar?
c. Apakah tidak terjadi tanda-tanda infeksi?
d. Apakah gangguan rasa nyaman dari pasien dapat terpenuhi?
e. Apakah pasien telah mengerti tentang proses penyakitnya serta tindakan perawatan dan pengobatannya?

DAFTAR PUSTAKA

Doenges E. Marylnn, et all, (1999), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi Ketiga, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.

Engram Barbara, (1998), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Vol. 3, Penerbit : Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.

Henderson M. A, Ilmu Bedah Untuk Perawat, Yayasan Essentia Medica, Yogyakarta.

Junadi Burnawan, (1982), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Kedua, Media Aeusculapius, FKUI, Jakarta.

Moelianto Djoko R, (1996), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi Ketiga, Balai Penerbit FKUI Jakarta.

__________________, (1987), Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, EGC, Jakarta
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments